REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah RI menegaskan bahwa tidak ada uang tebusan dalam pembebasan pilot Susi Air, Kapten Philip Mark Marthens. Pernyataan sama juga disampaikan oleh otoritas Selandia Baru yang menyatakan bahwa pembebasan kapten Philip adalah buah dari upaya diplomasi.
Namun pernyataan itu ditepis oleh Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat - Organisasi Papua Merdeka (TPNPB-OPM). Jubir OPM Sebby Sambom bahkan mengungkap sosok Edison Gwijanggae yang disebut-sebut membawa uang tebusan agar kelompok Egianus Kogeya membebaskan kapten Philip.
Besaran uangnya tak tanggung-tanggung mencapai Rp 25 miliar yang bisa dipakai untuk beli senjata."Uang untuk beli senjata dari Edison Gwijangge,” kata Juru Bicara TPNPB-OPM Sebby Sambom melalui rekaman suara yang diterima Republika di Jakarta, Senin (23/9/2024).
Lantas siap sebenarnya Edison Gwijanggae? Sebby mengeklaim, Edison Gijanggae merupakan utusan dari TNI-Polri dan pemerintah RI untuk membawa pulang Kapten Philip. Edison permah membawa uang Rp 25 miliar pada 2023. Tapi pada saat itu Egianus menolak.
Edison, menurut Sebby, tak patah arang, dan membuat uang dalam jumlah lebih besar. "Kami ketahui dari laporan-laporan pejuang kami TPNPB Kodap III Ndugama," ujar Sebby.
Ia pun yakin bahwa uang Rp 25 miliar itu diterima oleh Egianus. Apalagi pernah dalam suatu Waktu Egianus meminta nomor rekeningnya untuk transfer sejumlah uang.
“Sampai tanggal 21 September (2024) siang, mereka (Egianus) telepon saya. Dan mereka bilang, ‘Tuan Jubir (Sebby Sambom), pilot kami sudah bebaskan. Sudah di Timika. Dan Tuan Jubir kirim nomor rekening, kami mau transfer uang bagiannya Tuan Jubir’,” kata Sebby.
Dari laporan tersebut, kata Sebby, Markas Pusat TPNPB-OPM memastikan adanya penerimaan uang yang dilakukan Egianus dari pemberian Edison Gwijannge dalam pelepasan Kapten Philip tersebut. “Itu kan mereka sudah terima uang. Dan uang itu dari mana? Egianus di hutan dapat uang dari mana?,” kata Sebby.
Bagi OPM, kata Sebby, Egianus telah berkhianat. Karena sejatinya yang Kapten Philip diserahkan ke pemerintahan Selandia Baru, bukan otoritas Indonesia.