REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), KH Ahmad Zubaidi, menjelaskan bahwa esensi dakwah adalah mengajak umat manusia pada kebenaran. Kebenaran akan diterima sesuai dengan kemampuan dari masing-masing pendengarnya, yang berasal dari latar belakang berbeda.
“Pada dasarnya, dakwah itu mengajak kepada jalan kebenaran. Dakwah terdiri dari dua macam, yang pertama mengajak orang lain untuk menganut agama Islam, kedua untuk mengajak umat muslim yang berada di jalan yang salah untuk kembali ke jalan yang benar. Apabila bicara dalam bingkai negara Indonesia, dakwah harus dilakukan secara beretika, mengingat masyarakat Indonesia sudah meyakini agamanya masing-masing,” terang Kiai Zubaidi di Jakarta pada Selasa (8/10/2024).
Menurutnya, para dai yang menyampaikan dakwahnya juga perlu memperhatikan audiens atau orang yang hadir di tempat tersebut. Kiai Zubaidi berpendapat agar pada dai sebaiknya tidak mendakwahkan agamanya kepada orang-orang yang sudah memeluk agama lain, khususnya dalam konteks diskusi keagamaan yang terbuka.
Kiai Zubaidi selaku dai senior juga menekankan pentingnya makna dakwah melalui contoh atau perbuatan yang baik (dakwah bil hal). Adalah hal yang wajar apabila ada orang yang ingin memeluk Islam karena melihat perilaku umat muslim yang santun, penuh kasih sayang, disiplin, lemah lembut, toleran, dan menjunjung tinggi rasa solidaritas.
“Yang tidak boleh adalah mendakwahkan agama kepada orang yang sudah beragama secara terbuka, apalagi secara paksa. Hal ini karena konsensus bangsa Indonesia sebagai bangsa yang majemuk. Bagi masing-masing diri seorang muslim sebenarnya sudah punya kewajiban berdakwah, yaitu dengan mempraktikkan Islam dengan sebenar-benarnya, yang rahmatan lil alamin,” jelasnya.
Kiai Zubaidi juga menyoroti adanya diskusi keagamaan namun dengan agenda terorisme yang terselubung. Menurutnya, hal ini justru mencederai konsensus kebangsaan dan bahkan mengkhianati hak kebebasan beragama dan berserikat yang dijamin oleh negara Indonesia.
“Kita menyepakati NKRI dan Pancasila itu demi kemaslahatan bersama serta demi kedamaian Indonesia, kini dan yang akan datang. Kita tidak ber-khilafah atau ber-daulah islamiyah, bukan berarti kita tidak mengamalkan ajaran Islam, karena secara formal, substansial dan esensial, ajaran Islam itu dapat diamalkan di negara Indonesia, bahkan walaupun negara kita bukan negara Islam," katanya menambahkan.
Oleh karena itu, menurut Kiai Zubaidi, seharusnya dakwah yang mengandung ajakan terorisme sudah tidak laku lagi. Namun tetap saja, potensi ancaman dari ideologi transnasional harus diwaspadai, karena masih ada kalangan masyarakat yang mudah terprovokasi ajakan-ajakan seperti itu.
Menurutnya, kelompok masyarakat yang seperti ini seringkali punya semangat keagamaan yang tinggi, namun tidak disertai dengan pengetahuan agama yang komprehensif. Karena itu, masyarakat perlu berhati-hati dalam mengundang dai atau penceramah, harus tahu persis apa yang sering disampaikan dalam ceramahnya.
“Insya Allah, dai-dai yang telah memperoleh sertifikat standardisasi Dai MUI, dalam berdakwah sudah inklusif dan berwawasan kebangsaan. Hal ini adalah salah satu upaya dari MUI untuk mencegah beredarnya dai-dai yang mengedepankan kebencian, intoleransi provokasi atau bahkan pemecahbelahan umat," kata Kiai Zubaidi.
Menyoal dakwah keagamaan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, Kiai Zubaidi memahami bahwa kehidupan beragama tentu tidak bisa dilepaskan dari urgensi menjaga keutuhan persatuan bangsa. Indonesia berhasil tersusun dari kemajemukan yang luar biasa, sehingga perlu bingkai kebangsaan dalam menjalani keyakinan yang dianut masing-masing warga negara.
"Saya berharap para dai memiliki paham yang komprehensif terhadap Islam. Islam tidak boleh dipahami sepotong-sepotong sesuai dengan kepentingannya saja. Maka jika Islam dipahami secara komprehensif, Bhineka Tunggal Ika dan NKRI sudah tidak perlu dipersoalkan lagi. Islam dapat hidup dimana saja dengan tetap.menjaga perdamaian warganya," kata KH Zubaidi.