Rabu 18 Dec 2024 17:03 WIB

Harvey Moeis: Saya tidak Pernah Nikmati Uang Korupsi Rp 300 Triliun

Harvey merasa janggal dengan perhitungan ahli dari BPKP.

Terdakwa Harvey Moeis menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (10/10/2024). Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Saksi JPU menghadirkan sebanyak 13 saksi diantaranya istri dari terdakwa harvey Sandra Dewi, adik terdakwa Mira Moeis, adik dari Sandra Dewi bernama Kartika Dewi.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Terdakwa Harvey Moeis menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Kamis (10/10/2024). Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan PT Timah Tbk tahun 2015-2022. Saksi JPU menghadirkan sebanyak 13 saksi diantaranya istri dari terdakwa harvey Sandra Dewi, adik terdakwa Mira Moeis, adik dari Sandra Dewi bernama Kartika Dewi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Terdakwa Harvey Moeis selaku perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT) mengaku, dirinya dan keluarganya, maupun terdakwa lainnya dalam kasus timah tidak pernah punya, melihat, bahkan menikmati uang korupsi senilai Rp 300 triliun. Hal itu dikatakan Harvey saat membacakan nota pembelaan (pleidoi).

"Angka itu 10 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita mungkin, jadi saya mohon izin klarifikasi kepada masyarakat Indonesia bahwa kami tidak pernah menikmati uang sebesar itu," ungkap Harvey dalam persidangan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Rabu (18/12/2024).

Baca Juga

Harvey merasa janggal dengan perhitungan ahli Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) terkait dengan kerugian negara dalam kasus dugaan korupsi timah. Apalagi, dalam sidang pemeriksaan beberapa waktu lalu, ahli yang menghitung kerugian negara tersebut tidak profesional.

Sikap tidak profesional dimaksud, antara lain, dengan kesaksian ahli yang dimulai dengan kalimat ketidakpedulian terhadap kondisi penambangan liar di Bangka Belitung. Ahli juga malas menjawab saat terdakwa, penasihat hukum, masyarakat, hingga majelis hakim ingin menggali keterangannya di persidangan.

Begitu pula, lanjut dia, ketika pihaknya memohon hasil perhitungan ahli untuk lebih diteliti. Saat itu permohonan tersebut ditolak mentah-mentah. "Sungguh sangat tidak etis untuk seorang ahli profesor," ucap dia.

Maka dari itu, hingga saat ini Harvey mengaku masih sangat bingung asal dari perhitungan kerugian negara sebesar Rp 300 triliun dalam kasus timah. Dengan demikian, dirinya menilai auditor, jaksa, maupun masyarakat Indonesia sudah terkena prank oleh ahli tersebut. "Saya yakin majelis hakim tidak akan bisa di-prank oleh ahli," tutur Harvey.

Dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada tahun 2015–2022, Harvey dituntut untuk dijatuhkan pidana penjara selama 12 tahun serta pidana denda sejumlah Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, diganti dengan pidana kurungan selama 1 tahun.

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement