Senin 24 Mar 2014 19:22 WIB

Dilema Antara Cina dan Tionghoa

Rep: C56/ Debbie Sutrisno/ Red: Julkifli Marbun
  Sejumlah penari menampilkan tarian paduan budaya Tionghoa dan Indonesia dalam acara peringatan Tahun Baru Imlek Nasional di Jakarta, Selasa (19/2).   (Republika/Aditya Pradana Putra)
Sejumlah penari menampilkan tarian paduan budaya Tionghoa dan Indonesia dalam acara peringatan Tahun Baru Imlek Nasional di Jakarta, Selasa (19/2). (Republika/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keppres Presiden Susilo Bambang Yudhoyono nomor 12 tahun 2014 menyatakan penggantian kata Cina dengan kata Tionghoa. Kebijakan ini diambil karena istilah “Tjina” atau biasa disebut orang dengan lontaran “Cina”, dirasa telah menimbulkan dampak psikososial-diskriminatif dalam hubungan sosial warga bangsa Indonesia dari keturuna Tionghoa.

Sayang, Keppres yang menggantikan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE-06/Pred.Kab/6/1967 pada tanggal 28 Juni 1967 ini dianggap tidak sesuai.

Pendapat itu terlontar dari sastrawan sekaligus penulis Yapi Panda Abdiel Tamboyang. Pria yang akrab disapa Remy Sylado menuturkan, terkejut dengan adanya Kepres dari Presiden mengenai perubahan ini.

“Ya udah Cina aja, kenapa mesti diotak-atik,” ujar Remy saat dihubungi Republika, Senin (24/3). Kata “Cina” ini lebih politis dibandingkan dengan kata “Tionghoa”, lanjut dia.

Dia menjelaskan jika kata “Cina” ini telah menjadi bahasa Indonesia sejak jaman dulu. Meskipun saat ini sudah ada dalam kamu besar bahasa Indonesia, namun kata ini telah banyak dipergunakan menjadi nama berbagai tempat dan barang lainnya. Misalnya saja Pasar Cina, Kampong Cina, ataupun Pondok Cina.

Bila kata “Cina” harus diganti dengan kata Tionghoa, pengucapannya kata pun akan berubah menjadi Pasar Tionghoa, Kampong Tionghoa, serata Pondok Tionghoa. "Apa mungkin sebutan Pecinan akan menjadi Petionghoaan," tutur Remy.

Pria kelahiran Makasar di tahun kemerdekaan ini menyebutkan, ada kejanggalan dari Kepres Presiden SBY. “Jangan-jangan ini ada hubungannya dengan para Cina komunis yang eksklusif,” ungkap Remy.  Perkiraan ini dia sampaikan karena, sejak jaman dahulu golongan Cina tertentu yang ingin mengganti kata “Cina” dengan kata Tionghoa.

Terlepas dari apa maksud di balik Kepres Presiden ini. Remy tetap berargumen jika kata Cina itu lebih baik dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan dengan kata Tinghoa. Remy mencatut perkataan dari Arif Budiman (Soe Hok Djin), yang sekaligus kakak kandung dari Soe Hok Gie.  Bahwa Arif lebih suka dipanggil orang lain sebagai Cina, daripada dipanggil Tionghoa.

Kata Cina pun mempunyai arti “cantik” di mata Remy. Dalam suatu peribahasa Malaysia terdapat kalimat “Jangan mengajari Cina menjahit”, yang mempunyai makna jangan mengajari orang pandai. Ini berarti di negara Malaysia saja mengaku jika orang dari negara atau keturunan Cina itu mempunyai kepandaian yang lebih. Dan peribahasa itu telah ada mungkin dari bertahun-tahun silam. Ini mengartikan jika kata Cina mempunyai makna lebih tinggi dari Tionghoa.

Dalam makna kata Tinghoa, Remy menjelaskan, adanya sifat eksklusivisme. Pasalnya kata Tionghoa ini disebut tidak dapat membaur. Sehingga menimbulkan efek hanya untuk golongan tertentu saja. Kata Tionghoa pun jika ditelusuri lebih lanjut, berawal dari bawaan orang Kristen Kalsinis (sekarang berubah menjadi Gereja Indonesia). Sepanjang tahun 1965, kata Tionghoa dikaitkan dengan keberadaan kaum Komunis mendukung keberadaan Republik Rakyat Tiongkok (RRT).

Sehingga bisa disebutkan jika kata Tionghoa ini digunakan, berarti hanya akan mengeksklusifkan mereka dari golongan tertentu, dan bukan rakyat Cina seluruhnya yang berada di Indonesia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement