Senin 22 Apr 2019 18:52 WIB

Jimly: Sebaiknya Ambang Batas Presiden 20 Persen Dihapus

Penghapusan perlu agar lebih banyak capres bisa bersaing.

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Teguh Firmansyah
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).
Foto: Darmawan / Republika
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menyarankan agar sebaiknya ambang batas pencalonan presiden 20 persen ditiadakan. Penghapusan itu perlu agar ada potensi munculnya lebih dari dua kandidat capres-cawapres.

Menurut Jimly, jika hanya dua pasang kandidat seperti Pemilu 2019 ini, akan memperlihatkan pembelahan di kalangan masyarakat. "Jadi sebaiknya dihapus saja dan waktu kampanyenya tidak usah terlalu lama," kata dia di kantor ICMI, Jakarta Selatan, Senin (22/4).

Baca Juga

Jimly pun menceritakan ketika ia berkampanye sebagai calon anggota DPD, meski tidak terafiliasi dengan partai mana pun, ia tetap saja ditanya mendukung capres mana. Ini, kata ia, akibat tingginya tensi politik di Pemilu kali ini.

Alasan lain mengapa ambang batas capres 20 persen perlu dihapus, lanjut Jimly, karena banyak juga partai politik yang mengalami kerugian akibat penerapan sistem ini. "Karena yang mendapat getah ekor jas itu kan tiga atau empat partai saja. Partai yang lain enggak dapat," ujarnya.

Sedangkan untuk ambang batas parlemen sebesar empat persen, menurut Jimly memang sudah ideal. Ambang batas ini tidak boleh terlalu besar dan tidak juga terlalu kecil. Persentase empat persen ambang batas parlemen sudah cukup untuk melakukan konsolidasi di sistem demokrasi.

Jika persentase tersebut terlalu tinggi, lanjut Jimly, justru akan menghambat kemerdekaan berserikat bagi masyarakat. Dampaknya, masyarakat akan sangat kesulitan mendirikan dan membangun partai politik sehingga sistem yang ada tidak mampu menampung pluralitas politik masyarakat Indonesia yang beranekaragam.

"Partai Islam saja kan enggak bisa dijadikan satu. (Partai) yang nasionalis juga enggak bisa," kata mantan ketua Mahkamah Konstitusi itu.

Sebaliknya, bila persentasenya terlalu kecil, akan banyak yang mendirikan partai politik sehingga akan merepotkan dan menyulitkan. "Jadi empat persen ini saya rasa menghasilkan 9-10 partai, ini sudah rasional. Biar saja ada partai baru, toh kan sudah kelihatan (partai) yang baru-baru ini susah (lolos ke parlemen)," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement