Rabu 12 Feb 2020 16:32 WIB

KPPPA: Kawasan Tanpa Rokok Jadi Syarat Kota Layak Anak

Ada 24 indikator Kota Layak Anak, salah satunya kawasan tanpa rokok.

Red: Nur Aini
Anggota Satgas Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melakukan razia dan sidang tindak pidana ringan (Tipiring) pada kendaraan umum di jalan Juanda, Kota Bogor, Jawa Barat, Jum
Foto: Antara/Arif Firmansyah
Anggota Satgas Peraturan Daerah (Perda) Kawasan Tanpa Rokok (KTR) melakukan razia dan sidang tindak pidana ringan (Tipiring) pada kendaraan umum di jalan Juanda, Kota Bogor, Jawa Barat, Jum

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Kesejahteraan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) Hendra Jamal's mengatakan keberadaan kawasan tanpa rokok dan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok menjadi salah satu persyaratan Kabupaten/Kota Layak Anak.

"Kawasan tanpa rokok dan pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok merupakan dua dari 24 indikator Kabupaten/Kota Layak Anak," kata Jamal pada acara penayangan dan diskusi film "Kilas Balik Satu Dekade Perokok Anak" di Auditorium Perpustakaan Nasional, Jakarta, Rabu (12/2).

Baca Juga

Jamal mengatakan Kabupaten/Kota Layak Anak memiliki lima peringkat, yaitu pratama, madya, nindya, utama, dan paripurna. Saat ini belum ada satu pun kabupaten/kota di Indonesia yang mencapai peringkat paripurna sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak.

Hingga 2019, baru ada tiga kota yang berhasil meraih peringkat utama, yaitu Surabaya, Surakarta, dan Denpasar. Di ketiga kota tersebut pun masih terdapat iklan, promosi, dan sponsor rokok.

"Di Surabaya, misalnya. Wali Kota Tri Rismaharini mengatakan iklan rokok yang ada sudah dimulai sejak sebelum dia menjabat dan kontraknya 20 tahun. Namun, dia menyatakan tidak ada lagi kontrak iklan rokok baru," tuturnya.

Sebaliknya, Kota Bogor yang sudah melarang iklan, promosi, dan sponsor rokok hingga 2019 masih meraih predikat nindya. Menurut Jamal, hal itu karena ada indikator-indikator Kabupaten/Kota Layak Anak yang belum berhasil dipenuhi.

"Namun, selama masih ada iklan rokok, maka ketiga kota dengan predikat utama itu tidak akan bisa meraih predikat paripurna sebagai Kabupaten/Kota Layak Anak," jelasnya.

Jamal menjadi salah satu narasumber dalam penayangan dan diskusi film "Kilas Balik Satu Dekade Perokok Anak" yang diadakan Yayasan Lentera Anak. Selain Jamal, narasumber lainnya adalah Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty, akademisi London School of Public Relations (LSPR) Lestari Nurhayati, Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto, Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Rizkiyana Sukandhi Putra, pegiat pengendalian tembakau Widyastuti Soerojo, dan Sekretaris Deputi Pengembangan Kepemudaan Kementerian Pemuda dan Olahraga Amar Ahmad.

Yayasan Lentera Anak menampilkan sebuah film yang dimulai dari berita seorang anak usia dua tahun dari Musi Banyuasin, Sumatera Selatan yang sudah merokok sejak usia 18 bulan. Berita yang bermula dari sebuah video yang viral hingga menjadi pemberitaan media di luar negeri pada Mei 2010 itu menceritakan seorang anak yang akan marah bila tidak diberi rokok. Si anak bahkan bisa menghabiskan 40 batang rokok sehari.

Film yang naskahnya ditulis Reza Indragiri Amril dan dinaratori oleh Rahayu Saraswati Djohohadikusumo itu kemudian menggambarkan bahaya rokok yang masih mengancam anak-anak Indonesia melalui iklan hingga audisi olahraga yang mempromosikan rokok.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement