Jumat 18 Mar 2022 00:18 WIB

Perang Rusia-Ukraina, SBY Serukan Gencatan Senjata untuk Alasan Kemanusiaan

SBY dorong Rusia dan Ukraina sepakati gencatan senjata

Red: Bayu Hermawan
Susilo Bambang Yudhoyono.
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
Susilo Bambang Yudhoyono.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden ke-6 Republik Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendorong Rusia, Ukraina dan PBB untuk menyepakati gencatan senjata dengan alasan kemanusiaan. SBY menyerukan semua pihak di dunia ini untuk sama-sama peduli terhadap perang yang terjadi di benua Eropa ini. 

"Dari sumber-sumber yang kredibel dan dapat dipercaya penderitaan penduduk (non-kombatan) memang "exist" dan telah melampaui batas normal," kata SBY melalui tulisan di situs The Yudhoyono Institute, seperti dikutip pada Jumat (17/3/2022).

Baca Juga

SBY menolak menggunakan istilah 'operasi militer khusus' yang digunakan Rusia. SBY melanjutkan, secara moral, pihak-pihak yang berperang, harus membukakan jalan untuk pemberian bantuan kenanusiaan melalui gencatan senjata sementara (truce). "Truce ini harus dihormati dan dipatuhi oleh kedua belah pihak. Masyarakat internasional, utamanya PBB, tidak boleh abstain dan tidak peduli dengan aksi kemanusiaan ini," ujarnya.

SBY mengakui memang tidak mudah mencari solusi damai dari konflik atau perang bersenjata yang sudah terjadi. Berdasarkan pengalamannya saat masih aktif dalam dinas militer, dengan pangkat Brigjen, SBY pernah memimpin pasukan perdamaian PBB di zona konflik Bosnia-Herzegovina selama enam bulan pada tahun 1996. 

Selain itu, saat menjadi Menko Polsoskam pada era Presiden Gus Dur dan Menko Polkam pada era Presiden Megawati, SBY terlibat aktif menyelesaikan konflik horisontal di Sampit, Poso, Ambon dan Maluku Utara. Saat menjadi Presiden, SBY berhasil menyelesaikan konflik bersenjata di Aceh yang sudah berlangsung 29 tahun. Presiden SBY juga terlibat aktif dalam upaya dunia mengatasi konflik Suriah pada pertemuan G20 di Rusia.

"Saya amat tahu bahwa situasinya sangat tidak mudah, dan semakin rumit ketika negara-negara Barat menjatuhkan sanksi ekonomi yang berat terhadap Rusia. Saya bukan pula seorang utopis. Dalam hubungan internasional dan politik luar negeri saya berpijak pada aliran realisme. Dunia tak seindah bulan purnama," katanya. 

"Kita semua harus siap dan bisa hidup dalam dunia yang tak pernah damai dan menjadi ajang benturan kepentingan nasional yang juga tak akan pernah usai," tegas SBY.

Tapi SBY mengingatkan agar semua pihak selalu optimis. Menurutnya, kondisi dan situasi yang berat itu jangan menyurutkan prakarsa dan aksi nyata untuk mencegah terjadinya krisis kemanusiaan akibat perang, di manapun di dunia ini. 

"Situasi di Ukraina , sebagaimana situasi di Suriah, ataupun situasi di Yugoslavia dulu, selalu ada jalan untuk mencegah dan mengakhiri penderitaan kemanusiaan yang tak semestinya terjadi. If there is a will, there is a way. Jika ada kemauan, ada jalan," tegas SBY. 

Ia mengingatkan, prakarsa untuk melakukan gencatan senjata ini, sering berasal dari pihak ketiga, misalnya Perserikatan Bangsa-Bangsa, karena dinilai ada jalan dan peluang untuk mengubah perang militer itu menjadi proses politik yang dapat menghadirkan win-win solution. Sejarah juga banyak mencatat bahwa peperangan, seberapapun dahsyatnya, akhirnya berakhir di meja perundingan. SBY menyerukan semua pihak di dunia ini untuk sama-sama peduli terhadap perang yang terjadi di benua Eropa ini. 

Baca juga : MAKI Laporkan 3 Perusahaan Pengekspor Minyak Goreng Berkedok Sayuran

"Kalau krisis ekonomi global terjadi sekarang, yang dipicu oleh adanya perang ekonomi menyusul serangan Rusia ke Ukraina, apa yang akan terjadi? Saya khawatir hanya negara-negara besar yang ekonominya kuat sajalah yang bisa mengatasi dampak buruknya, sementara negara berekonomi sedang apalagi lemah akan menanggung beban yang  terlampau berat," kata SBY.

Karena itu, SBY melanjutkan, harus berani mengatakan bahwa sebaiknya dunia mencegah memburuknya situasi kemanusiaan di Ukraina. "Mencegah terjadinya perang dunia dan perang nuklir, serta mencegah pula terjadinya perang ekonomi yang makin tajam, meluas dan indiskriminatif," katanya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement