Ambang Batas Dihapus, Semua Partai Bisa Ajukan Pasangan Capres-Cawapres, Ini Respons PKS

MK mengabulkan permohonan menghapus ambang batas pencalonan presiden.

Republika/Prayogi
Ketua MK Suhartoyo (kiri) berbicara dengan hakim konstitusi Arsul Sani saat sidang pendahuluan pengujian materiil UU tentang Pemilu di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (7/8/2024).
Rep: Bayu Adji Prihammanda Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menolak ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT). Pasalnya, PKS mengeklaim merupakan salah satu pihak yang mengajukan permohonan untuk menolak PT.

Baca Juga


Juru Bicara PKS Ahmad Mabruri mengatakan, partainya sangat menyambut baik putusan MK yang menghapus PT di Pemilihan Presiden (Pilplres) 2029 mendatang. "Yup (menyambut baik putusan MK)," kata dia saat dikonfirmasi Republika, Kamis (2/1/2025).

Ia mengatakan, PKS merupakan salah satu pihak yang mengajukan permohonan ke MK untuk menghapus PT. Dari sekitar 35 permohonan yang telah diajukan ke MK, di mana PKS merupakan pemohon yang ke-31, akhirnya MK memutuskan untuk menghapus PT.

"Setelah kurang lebih 35 permohonan, dan PKS sebagai Pemohon 31. Semuanya ditolak MK dengan alasan open legal policy, kini MK membantah dalilnya sendiri dengan menghapus PT. Karena bertentangan dengan konstitusi," kata dia.

Mabruri mengatakan, enam dalil PKS dalam judicial review PT pada 2022 juga telah diakui dan disetujui MK. Namun, pada amar putusan MK kembali mengurung dirinya dengan alasan open legal policy.

Diketahui, MK memutuskan ambang batas presiden atau presidential treshold bertentangan dengan konstitusi. Dengan demikian, setiap partai boleh memajukan kandidat di dalam Pilpres.

Dilansir dari laman MKRI, ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.

Dosen Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT). Menurut dia, keputusan itu sudah sepatutnya dirayakan oleh masyarakat Indonesia.

Ia menilai, tidak ada pihak yang akan dirugikan dengan putusan MK. Pasalnya, setiap partai politik peserta pemilu akan dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden tanpa adanya ambang batas, yang selama ini menjadi penghambat. Di sisi lain, pemilih akan mendapatkan keragaman pilihan politik melalui pemilu yang lebih inklusif.

"Anak-anak Indonesia jadi lebih berani bermimpi menjadi presiden/wakil presiden karena akses itu lebih terbuka untuk direalisasikan saat ini melalui Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024," kata dia saat dihubungi Republika, Kamis (2/1/2025).

Karena itu, menurut dia, mulai saat ini partai politik harus mulai menyiapkan kader-kader terbaiknya sebagai calon-calon potensial untuk Pemilihan Presiden (Pilplres) 2029. Namun, partai politik harus bisa memastikan terlebih dahulu agar dapat lolos menjadi perserta Pemilu 2029.

Titi juga mengingatkan kepada pemerintah dan DPR, serta semua partai politik untuk menghormati putusan ini. Pasalnya, putusan MK itu akan membuat kehidupan demokrasi di Indonesia lebih adil, setara, dan inklusif.

"Jangan sampai ada upaya mendistorsi putusan MK apalagi sampai berani melakukan pengingkaran atas putusan tersebut," ujar dia.

Titi menambahkan, sebenarnya tidak ada argumentasi hukum yang baru dalam putusan MK tersebut. Hanya saja, MK mencermati secara saksama dinamika dan kebutuhan penyelenggaraan negara, sehingga MK menyatakan saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian sebelumnya. Hal itu mempertimbangkan banyaknya pengujian pasal ambang batas pencalonan presiden yang diajukan ke MK, yaitu sampai 33 pengujian lebih.

"Lalu kecenderungan adanya upaya membatasi jumlah calon yang mengakibatkan terbatasnya pilihan bagi pemilih dan berakibat terjadi polarasisasi di tengah-tengah masyarakat, maka MK menganggap hal itu sebagai open legal policy yang bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan mengandung ketidakadilan yang intolerable," kata dia.

Akhir Rezim Presidential Threshold - (Republika)

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler