MK Hapus Ambang Batas Capres-Cawapres, Akademisi: Pemerintah dan DPR Harus Patuh!

MK mengabulkan permohonan menghapus ambang batas pencalonan presiden.

Republika/Prayogi
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang tentang Pemilihan Umum di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (7/8/2024).
Rep: Bayu Adji Prihammanda Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dosen Hukum Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Titi Anggraini menyambut baik putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapuskan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT). Menurut dia, keputusan itu sudah sepatutnya dirayakan oleh masyarakat Indonesia.

Baca Juga


Ia menilai, tidak ada pihak yang akan dirugikan dengan putusan MK. Pasalnya, setiap partai politik peserta pemilu akan dapat mencalonkan presiden dan wakil presiden tanpa adanya ambang batas, yang selama ini menjadi penghambat. Di sisi lain, pemilih akan mendapatkan keragaman pilihan politik melalui pemilu yang lebih inklusif.

"Anak-anak Indonesia jadi lebih berani bermimpi menjadi presiden/wakil presiden karena akses itu lebih terbuka untuk direalisasikan saat ini melalui Putusan MK Nomor 62/PUU-XXII/2024," kata dia saat dihubungi Republika, Kamis (2/1/2025).

Karena itu, menurut dia, mulai saat ini partai politik harus mulai menyiapkan kader-kader terbaiknya sebagai calon-calon potensial untuk Pemilihan Presiden (Pilplres) 2029. Namun, partai politik harus bisa memastikan terlebih dahulu agar dapat lolos menjadi perserta Pemilu 2029.

Titi juga mengingatkan kepada pemerintah dan DPR, serta semua partai politik untuk menghormati putusan ini. Pasalnya, putusan MK itu akan membuat kehidupan demokrasi di Indonesia lebih adil, setara, dan inklusif.

"Jangan sampai ada upaya mendistorsi putusan MK apalagi sampai berani melakukan pengingkaran atas putusan tersebut," ujar dia.

Titi menambahkan, sebenarnya tidak ada argumentasi hukum yang baru dalam putusan MK tersebut. Hanya saja, MK mencermati secara saksama dinamika dan kebutuhan penyelenggaraan negara, sehingga MK menyatakan saat ini merupakan waktu yang tepat bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian sebelumnya. Hal itu mempertimbangkan banyaknya pengujian pasal ambang batas pencalonan presiden yang diajukan ke MK, yaitu sampai 33 pengujian lebih.

"Lalu kecenderungan adanya upaya membatasi jumlah calon yang mengakibatkan terbatasnya pilihan bagi pemilih dan berakibat terjadi polarasisasi di tengah-tengah masyarakat, maka MK menganggap hal itu sebagai open legal policy yang bertentangan dengan moralitas, rasionalitas, dan mengandung ketidakadilan yang intolerable," kata dia.

Akhir Rezim Presidential Threshold - (Republika)

MK diketahui telah memutuskan menghapus ketentuan ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT). Gugatan terhadap ambang batas ini beberapa kali diajukan banyak pihak, namun selalu kandas.

Ambang batas minimal atau presidential threshold sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Alasan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024, di Ruang Sidang Pleno MK, Jakarta, Kamis (2/1/2025).

Dalam pertimbangan putusan, Wakil Ketua MK Saldi Isra mengatakan bahwa merujuk risalah pembahasan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu merupakan hak konstitusional partai politik. Dalam konteks tersebut, Mahkamah menilai gagasan penyederhanaan partai politik dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR pada pemilu sebelumnya sebagai dasar penentuan hak partai politik atau gabungan partai politik untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan bentuk ketidakadilan.

"Selain itu, dengan menggunakan hasil pemilu anggota DPR sebelumnya, disadari atau tidak, partai politik baru yang dinyatakan lolos sebagai peserta pemilu serta-merta kehilangan hak konstitusional untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden," ujar Saldi.

Dalam batas penalaran yang wajar, MK memandang presidential threshold yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 menutup dan menghilangkan hak konstitusional partai politik peserta pemilu yang tidak memiliki persentase suara sah secara nasional atau persentase jumlah kursi di DPR pada pemilu sebelumnya untuk mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden. Saldi mengatakan, penerapan angka ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden terbukti tidak efektif dalam menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu.

Di sisi lain, penetapan besaran atau persentasenya dinilai tidak didasarkan pada penghitungan yang jelas dengan rasionalitas yang kuat. "Dalam konteks itu, sulit bagi partai politik yang merumuskan besaran atau persentase ambang batas untuk dinilai tidak memiliki benturan kepentingan," imbuh Saldi.

MK mempelajari bahwa arah pergerakan politik Indonesia cenderung selalu mengupayakan setiap pemilu presiden dan wakil presiden hanya diikuti dua pasangan calon. Menurut MK, kondisi ini menjadikan masyarakat mudah terjebak dalam polarisasi yang mengancam keutuhan Indonesia apabila tidak diantisipasi. Sekalipun pemilu presiden dilaksanakan serentak dengan pemilu anggota legislatif, sejatinya mandat rakyat atau pemilih diberikan secara terpisah.

Menurut Mahkamah, menggunakan presidential threshold berdasarkan perolehan suara atau kursi DPR memaksakan logika sistem parlementer dalam praktik sistem presidensial Indonesia. Oleh karena itu, MK menyatakan presidential threshold yang ditentukan dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tidak hanya bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, tetapi juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang tidak dapat ditoleransi.

"Sehingga terdapat alasan kuat dan mendasar bagi Mahkamah untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya. Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden berapa pun besaran atau angka persentasenva adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945," katanya. Atas pertimbangan di atas, MK menyimpulkan pokok permohonan beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.

Akan tetapi, terdapat dua hakim konstitusi yang berbeda pendapat, yakni Anwar Usman dan Daniel Yusmic P Foekh. Perkara ini dimohonkan oleh empat orang mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, Rizki Maulana Syafei, Faisal Nasirul Haq, dan Tsalis Khoirul Fatna.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler