Ambang Batas Dihapus, Dede Yusuf: Jumlah Capres Harus Diatur Agar tak Terlalu Banyak

MK mengabulkan permohonan menghapus ambang batas pencalonan presiden.

Republika/Prayogi
Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang pendahuluan pengujian materiil Undang-Undang tentang Pemilihan Umum di Ruang Sidang MK, Jakarta, Kamis (7/8/2024).
Rep: Bayu Adji Prihammanda Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi II DPR Dede Yusuf buka suara terkait adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden atau presidential threshold (PT). Menurut dia, putusan itu akan membuka ruang bagi setiap partai mencalonkan presiden dan wakil presiden.

Baca Juga


Dede mengatakan, putusan MK itu membuka ruang agar warga dapat memiliki beragam pilihan di pemilihan presiden (pilplres). Pasalnya, tidak akan ada lagi syarat minimal 20 persen kursi DPR RI atau 25 persen suara sah nasional. Artinya, partai kecil bisa memiliki calon presiden dan wakil presiden tanpa harus membentuk koalisi.

"Putusan MK ini membuat masyarakat bisa mendorong jagonya sendiri-sendiri. Jadi tidak hanya dipaksakan oleh partai-partai koalisi besar, dan ini menunjukkan bahwa kita punya calon yang cukup banyak, tidak hanya itu-itu saja. Ini juga bagus menurut saya," kata dia saat dihubungi Republika, Kamis (2/1/2025).

Ia menambahkan, putusan itu juga mencegah pilpres hanya diikuti oleh dua kandidat. Pasalnya, hal itu berpotensi besar menimbulkan konflik horizontal di masyarakat.

Namun, menurut dia, jumlah calon presiden dan wakil presiden yang akan mengikuti kontestasi juga harus diatur. Aturan itu harus memuat batasan minimal atau maksimal jumlah kandidat.

Dede mengatakan, MK juga menyerahkan kepada pembuat undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional. Rekayasa itu perlu dilakukan untuk mengatur jumlah ideal pasangan calon di pilpres.

"Misalnya minimal kita nanti melalui undang-undang pemilu, pilpres ini kita lihat apakah lima dan maksimalnya misalnya sepuluh atau berapa. Karena enggak mungkin juga 20 (pasangan calon), karena pasti membingungkan," kata dia.

Menurut dia, saat ini para anggota DPR masih menjalani masa reses. Ia mengatakan, proses pembahasan itu baru akan dilakukan usai masa reses selesai.

"Setelah komisi masuk bersidang, kami akan membuat panja terkait undang-undang pilpres, pemilu, dan lain-lain ini menjadi omnibus, salah satu omnibus. Di situ kita harus mencari, tadi, apa namanya, rekayasa konstitusi, mana yang tetap merepresentasikan setiap warga negara berhak mengikuti," kata dia.

Dede mengatakan, pihaknya akan membahas jumlah kandidat yang ideal dalam pelaksanaan Pilpres. Pembahasan itu tentunya akan melibatkan seluruh pemangku kepentingan.

"Berapa banyak, mau empat kah, mau minimal lima, paling banyak berapa gitu ya. Nah itu nanti kita masukkan dalam panja," kata dia.

Akhir Rezim Presidential Threshold - (Republika)

MK memutuskan untuk menghapus ambang batas pencalonan presiden. MK pun memberikan lima pedoman bagi pembentuk undang-undang, yakni DPR dan pemerintah untuk melakukan rekayasa konstitusional.

Ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan capres-cawapres sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) tak hanya dinilai bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat, namun juga melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable serta nyata-nyata bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945. Alasan inilah yang menjadi dasar bagi MK untuk bergeser dari pendirian dalam putusan-putusan sebelumnya terkait uji materi ambang batas pencalonan presiden.

“Pergeseran pendirian tersebut tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase ambang batas, tetapi yang jauh lebih mendasar adalah rezim ambang batas pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) berapapun besaran atau angka persentasenya adalah bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD NRI Tahun 1945,” ujar Wakil Ketua MK Saldi Isra saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 pada Kamis (2/1/2025).

Dalam putusan ini, MK memberikan pedoman bagi pembentuk undang-undang untuk melakukan rekayasa konstitusional agar tidak muncul pasangan capres-cawapres dengan jumlah yang terlalu banyak. Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.

Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan partai politik peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih.

Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.

 

Kelima, perumusan rekayasa konstitusional dimaksud termasuk perubahan UU Pemilu melibatkan partisipasi semua pihak yang memiliki perhatian (concern) terhadap penyelenggaran pemilu termasuk partai politik yang tidak memperoleh kursi di DPR dengan menerapkan prinsip partisipasi publik yang bermakna (meaningful participation).

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hukum di atas, Mahkamah menyatakan ketentuan Pasal 222 UU Pemilu tidak sejalan dengan prinsip persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan, hak memperjuangkan diri secara kolektif, serta kepastian hukum yang adil sesuai dengan Pasal 27 ayat (1), Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945. Dengan demikian, menurut MK, dalil para Pemohon adalah beralasan menurut hukum untuk seluruhnya. Dalam Putusan ini, terdapat dua hakim konstitusi yang memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion).

Untuk diketahui permohonan ini diajukan oleh empat orang Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Sunan Kalijaga, yakni Enika Maya Oktavia, dkk. Para Pemohon mendalilkan prinsip "one man one vote one value" tersimpangi oleh adanya presidential threshold. Hal ini menimbulkan penyimpangan pada prinsip "one value" karena nilai suara tidak selalu memiliki bobot yang sama.

Idealnya, menurut para Pemohon, nilai suara seharusnya mengikuti periode pemilihan yang bersangkutan. Namun, dalam kasus presidential threshold, nilai suara digunakan untuk dua periode pemilihan, yang dapat mengarah pada distorsi representasi dalam sistem demokrasi. Oleh karena itu, hal ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan atau penyimpangan pada prinsip asas periodik, nilai suara seharusnya mengikuti setiap periode pemilihan secara proporsional.

Dalil mengenai uji materiil ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) juga diajukan dalam dua perkara lainnya, yakni Perkara Nomor 87/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh empat dosen, antara lain Mantan Ketua Bawaslu Muhammad, Dian Fitri Sabrina, S Muchtadin Al Attas, serta Muhammad Saad. Selain itu, Perkara Nomor 101/PUU-XXII/2024 yang diajukan oleh Yayasan Jaringan Demokrasi dan Pemilu Berintegritas (Netgrit) yang diwakili Hadar Nafis Gumay serta perorangan Titi Anggraini.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler