Jumat 03 Jul 2020 13:41 WIB
HIP

DPR Rubberrstamp, RUU HIP dan Monopoli Legislasi Satu Kamar

Kualitas parlemen kembali ke zaman Orba jadi 'rubberstamp'

Aksi unjuk rasa menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di depan Gedung DPR, Jakarta, Republika/Putra M. Akbar
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Aksi unjuk rasa menolak RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) di depan Gedung DPR, Jakarta, Republika/Putra M. Akbar

REPUBLIKA.CO.ID -- Oleh Dr. Abdul Kholik, Waka Komite I DPD RI

Kisruh pembentukan undang-undang  di DPR akibat penyusunan RUU Haluan Idiologi Pancasila (HIP) masih terus berlanjut. Sejumlah substansi kontroversial berpotensi mengubah dan memeras Pancasila menjadi Tri Sila dan Eka Sila.

Tidak mengherankan, reaksi publik sangat keras dan berujung penolakan dari sebagian besar kalangan masyarakat. Sejumlah ormas besar seperti MUI, Muhamamdiyah, NU, dan Purnawirawan TNI menolak dan meminta agar RUU ini dibatalkanh dan ditarik serta dicabut dari Program Legislasi nasional. Bukan hal yang berlebihan apabila RUU ini berpotensi memicu konflik di tengah masyarakat.

Pemerintah, setelah mendapat tekanan keras akhirnya bersikap menunda pembahasan. Nomenklatur penundaan mengesankan suatu saat akan dilanjutkan kembali sehingga protes publik berlanjut, muncul aksi penolakan di berbagai daerah. Kepastian sikap Pemerintah masih perlu ditunggu.

Dalam waktu maksimal 60 hari sejak menerima pengajuan RUU dari DPR harus memberikan jawaban ke DPR. Yang lazim Presiden mengirim surat berisi penugasan kepada menteri menteri untuk membahas dengan DPR. Ditentukan pula kementerian yang menjadi leading sector dalam pembahasan.

Jadi, meski sudah menyatakan menunda, tetap harus ada surat balasan. Kalo melebihi 60 hari Presiden tidak mengirim surat ke DPR berarti melanggar undang-undang.

Menjadi menarik menunggu kelanjutan proses RUU HIP. Merujuk prosedur dalam Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 junto Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, sesungguhnya terbuka ruang untuk penarikan dan pencabutan.

Pengusul, baik ketika suatu RUU baru dalam tahap penyusunan, maupun ketika dalam pembahasan dapat menarik RUU yang diajukan. Posisi RUU HIP mau masuk pembahasan, karena sudah disahkan sebagai inisiatif DPR dan dikirimkan ke Presiden untuk dimintakan pembahasan. Jadi pilihan penarikannya ada pada DPR. 

Ibaratnya, bola panas  masih tetap ada di DPR. Dalam hal sebuah RUU sudah dikirimkan ke Presiden, namun telah mendapatkan penolakan yang luar biasa sehingga sampai pada keputusan untuk menarik RUU, dapat dilakukan melalui keputusan pimpinan DPR dan mendapat persetujuan secara kelembagaan.

Artinya penarikan RUU HIP harus diputuskan dalam rapat paripurna DPR. Lantas Mungkinkah DPR menarik RUU HIP. Tampaknya masih balum ada tanda-tanda kearah itu.  Terakhir sejumlah fraksi yang semula ikut menjadi pengusul, menarik diri. Terjadi perubahan sikap, pada awalnya hanya satu fraksi, namun terakhir sebagian besar fraksi menyatakan menarik diri.

Legislasi Dua Kamar

Tercatat dalam beberapa tahun terakhir, sejumlah proses legislasi di DPR mendapat penolakan  keras dari masyarakat. Beberapa diantaranya menimbulkan jatuhnya korban. Sebut saja pengesahan RUU KUHP dan RUU KPK yang mendapat penolakan mahasiswa dan masyarakat pada akhir September 2019. Aksi demo besar-besaran terjadi sehingga mengakibatkan kerusuhan  dan berimplikasi pada ditundanya pengesahan RUU KUHP sampai saat ini.

Patut direnungkan mengapa kualitas proses legislasi semakin menurun, dilihat dari kualitas perdebatan dan tingkat partisipasi publik. Berbeda halnya pada periode awal reformasi terutama satu dasa warsa  pasca reformasi.

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam resonansi di Republika, menilai kualitas legislasi yang menurun dan DPR seperti kembali menjadi lembaga semacam rubberstamp (tukang stempel). Parlemen cenderung mudah menyetujui dalam pembahasan suatu RUU, dan tampak mengikuti kehendak pemerintah tanpa perdebatan yang memadai.

Prosesnya pun berjalan singkat dan cepat. Ini berbeda dengan fase awal reformasi ketika sebuah RUU disusun dan dibahas, masyarakat  terlibat aktif tidak hanya melalui pemberian masukan, namun muncul banyak koalisi masyarakat untuk mengawal proses legislasi. Hasilnya, jarang sekali terjadi penolakan RUU.

Kini di tengah melemahnya kontrol publik terhadap proses legislasi itulah muncul soal RUU HIP. Di tengah situasi pandemi, proses legislasi banyak berlangsung secara virtual, proses penyusunan RUU HIP tergolong cepat. Dalam rentang waktu tiga masa sidang sudah selesai menjadi RUU inisiatif dan disahkan di paripurna.

Publik tidak mengetahui secara persis perdebatan  yang menggambarkan urgensi dan kerangka penormaan RUU HIP. Padahal sarat mutlak proses penyusunan RUU harus melibatkan dan memberi ruang seluasnya bagi partisipasi publik.

Semestinya sebuah undang-undnag lahir atas dasar kebutuhan hukum masyarakat. Di era demokrasi, sikap menafikan partisipasi publik sama saja mengembalikan proses legislasi sebagai pendekatan kekuasaan semata. Padahal sejatinya parlemen dimanapun yang dinilai adalah kualitas debat publiknya ketika memutuskan substansi yang akan diberlakukan terhadap rakyat.

Bisa dirujuk, bagaiamana perdebatan parlemen Inggris ketika membahas isu Brexits yang berlangsung sangat dinamis dan betapa pemerintah tidak mudah meyakinkan parlemen dan dukungan public bagi parlemen sangat kuat.

Proses legislasi RUU HIP yang berjalan mulus dan cepat tidak terlepas dari komposisi parlemen yang sangat dominan oleh fraksi pemerintah. Jadi ketika pemerintah sudah bersikap, intensitas dan kualitas perdebatan menjadi kurang. Apalagi jika pihak eksekutif menghendaki sebuah RUU segera dibahas dan disahkan.

Seperti terjadi pada praktik terakhir RUU Minerba yang disahkan dalam tempo yang singkat meski banyak elemen masyarakat keberatan termasuk DPD sebagai pihak yang seharusnya ikut membahas karena susbtansinya menjadi domain kewenangannya, namuj diabaikan. Hal ini menguatkan kebutuhan penyempurnaan proses legislasi dengan memberlakukan pembahasan dua kamar.

Model pembahasan dua kamar banyak berlaku di negara yang memiliki dua kamar parlemen seperti Indonesia. Tujuan untuk menciptakan dobel chek legislasi dan membuka ruang perdebatan yang lebih intens, sekaligus akses partispasi publik menjadi lebih terbuka Jika ini diterapkan, kemungkinan terjadinya penolakan suatu RUU secara masif dapat dihindari.

Undang-undang yang baik adalah yang didukung dan diterima masyarakat. Ia lahir dari kebutuhan yang nyata dan membawa manfaat kebaikan. Sebab masyarakat yang melahirkan hukum  seperti adagium ibi societa ibi ius dan bukan sebaliknya. Sungguh tidak ada artinya sama sekali ketika hukum lahir justru melahirkan konflik dalam masyarakat dan merusak sendi sendi persatuan bangsa.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement