REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ratna Puspita*
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI telah mengesahkan Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja pada 5 Oktober 2020. Perbincangan soal pengesahan undang-undang ini ramai dibicarakan di media sosial seperti Twitter dan WhatsApp. Hal yang paling ramai dibicarakan soal isu-isu ketenagakerjaan.
Tidak bisa dimungkiri isu itulah yang akan menghantam banyak orang. Jumlah angkatan kerja di Indonesia saat ini sekitar 131 juta. Dari angka itu, ada yang bekerja di sektor formal dan ada lebih banyak yang bekerja di sektor informal. Semua pekerja akan terikat pada UU Cipta Kerja yang sebagian isinya mengubah atau menambah UU Ketenagakerjaan.
Pada salah satu grup WhatsApp di mana saya menjadi anggotanya, perbincangan soal RUU Ciptaker pada malam usai pengesahan berisi rasa frustrasi soal pengesahan RUU Ciptaker. Sebagian anggota grup sudah membaca draf lebih vokal menyuarakan ketidakadilan pengaturan ketenagakerjaan, sebagian lain yang belum membaca draf sesekali menimpali.
Pada pagi hari, pembahasan dalam grup itu menjadi lebih subtansial soal isinya. Misalnya, seorang teman bertanya 'bagaimana menemukan pengaturan soal JKP (Jaminan Kehilangan Pekerjaan)' dalam UU yang punya lebih dari 900 halaman.
Sejujurnya, saya juga tidak pernah membaca UU serumit UU Cipta Kerja. Saya bukan lulusan hukum sehingga konsep Omnibus Law baru saya tahu ketika pemerintah membahas UU Cipta Kerja.
Sebagai orang yang tidak punya latar belakang pendidikan hukum, kecuali saya pernah ngepos di desk hukum, saya mencoba cara mudah membaca aturan ini. Pertama, mengenali dulu bab dalam UU Cipta Kerja. Ada 16 Bab dalam UU Cipta Kerja, yakni ketentuan umum; asas, tujuan, dan ruang lingkup; peningkatan ekosistem investasi dan kegiatan berusaha; ketenagakerjaan.
Lalu, kemudahan, pelindungan, dan pemberdayaan koperasi, usaha mikro, kecil, dan menengah; kemudahan berusaha, kebijakan fiskal nasional yang berkaitan dengan pajak dan retribusi. Kemudian, dukungan riset dan inovasi; pengadaan tanah; kawasan ekonomi; investasi pemerintah pusat dan kemudahan proyek stretagis nasional.
Lima bab lainnya, yakni pelaksanaan administrasi pemerintahan untuk mendukung cipta kerja, pengawasan dan pembinaan, ketentuan lain-lain; ketentuan peralihan; dan ketentuan penutup.
Saya memfokuskan membaca pada klaster ketenagakerjaan yang termuat dalam Bab IV. Klaster Ketenagakerjaan memuat beberapa bagian seperti umum, ketenagakerjaan, jenis program jaminan sosial, badan penyelenggara jaminan sosial, dan pelindungan pekerja migran Indonesia,.
Bagian umum menjelaskan empat undang-undang terdampak dari pengesahan UU Cipta Kerja, yakni UU Ketenagakerjaan, UU Sistem Jaminan Sosial Nasional, UU Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, dan UU Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Bagian ketenagakerjaan mengubah aturan tentang pelatihan kerja, tenaga kerja asing, upah, dan waktu kontrak. UU Cipta Kerja mengubah peraturan waktu kontrak. UU Cipta Kerja tetap mengatur tentang "perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu."
Namun, batas waktu ‘perjanjian kerja dibuat untuk waktu tertentu’ yang sebelumnya berdurasi dua tahun justru dihapus dalam UU Cipta Kerja. UU Cipta Kerja hanya menyatakan jangka waktu ditentukan berdasarkan perjanjian kerja dan ketentuan lebih lanjut diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Ada pula soal skema gaji dengan bunyi: "Pengusaha wajib menyusun struktur dan skala upah di perusahaan dengan memperhatikan kemampuan perusahaan dan produktivitas." Pengaturan ini berbeda dari Pasal 92 UU Ketenagakerjaan yang menyatakan struktur gaji berdasarkan golongan, jabatan, masa kerja, pendidikan, dan kompetensi.
Sementara bagian jaminan sosial menambahkan jaminan kehilangan pekerjaan sebagai pengganti pesangon. Sayangnya, pengaturan soal ini masih harus menunggu peraturan pemerintah sehingga sulit diketahui apakah premi JKP dipotong dari gaji pekerja atau ada mekanisme lain.
Membaca UU Cipta Kerja bagi awam seperti saya adalah kepusingan tersendiri. Kepusingan yang lain tentu saja memahami isinya. Misalnya, stuktur gaji yang berdasarkan kemampuan perusahaan dan produktivitas. Dua hal tersebut berada pada ranah perusahaan, bukan pekerja yang ditandai dengan kompetensi, masa kerja, dan pendidikan.
Belum lagi aturan tambahan soal JKP yang telah saya sebut di atas. Siapa yang akan bayar preminya ketika UU Cipta Kerja mengamanatkan sistem asuransi pada JKP?
Aturan lain tidak kalah memusingkan yang membuat saya tidak tahan untuk bertanya, DPR sebenarnya kebelet untuk apa atau siapa ketika membahas dan mengesahkannya? Saya tidak mengabaikan puluhan rapat selama enam bulan soal UU Cipta Kerja (terlepas dari enam bulan lebih singkat daripada pandemi Covid-19 melanda negeri ini).
DPR tidak bisa memungkiri bahwa ada kesan UU Cipta Kerja ini agar cepat diselesaikan. Saya menyebut kecepatan ini seperti orang sedang ‘kebelet’.
Opini ini datang setelah DPR menghabiskan dua akhir pekan untuk menuntaskan UU Cipta Kerja. Pertama ketika menuntaskan klaster ketenagakerjaan, dan kedua ketika mengambil keputusan tingkat I.
Belum selesai terkejut dengan aksi politik DPR pada malam minggu yang biasanya jadi tanda malam bersantai atau pacaran, politikus di parlemen sudah memberikan kejutan lain pada awal pekan. DPR menggelar rapat bamus dan rapat paripurna pada hari yang sama. Rapat bamus pada siang hari, dan rapat paripurna mengesahkan UU Cipta Kerja pada malam hari.
Jika memang yang dilakukan DPR adalah demi rakyat maka kenapa pasal-pasal di dalamnya terasa tidak menguntungkan rakyat sebagai kelompok pekerja.
*) Penulis adalah jurnalis republika.co.id