Ahad 07 Mar 2021 08:16 WIB

Islamofobia dan Stigmatisasi Radikal kepada Muslim

Stigma radikal kepada Islam dapat merusak sistem demokrasi sosial politik.

Red: Karta Raharja Ucu
Umat Islam selalu dibayangi dengan stigma radikal. Foto: Ilustrasi Muslimah
Foto:

Fenomena Islamofobia     

Menurut Etin Anwar (2009), dalam The Dialectics of Islamophobia and Radicalism in Indonesia, istilah Islamofobia mengacu pada asumsi, teori, praktik, dan kebijakan yang merendahkan Islam dan Muslim sebagaimana dipahami oleh para Islamis di Indonesia. Islamofobia telah dipicu khususnya oleh para ahli teori, seperti Fukuyama dan Huntington, yang meramalkan Islam akan menjadi musuh bebuyutan Barat.

Gottschalk dan Greenberg (2008) dalam Islamophobia: Making Muslims the Enemy mendefinisikan Islamofobia sebagai “kecemasan sosial” terhadap Islam dan budaya Muslim yang sebagian besar tidak teruji secara empirik. Islamofobia membayangkan Islam sebagai ancaman inti politik, budaya, dan agama, termasuk prinsip-prinsip politik kebebasan, kesetaraan, demokrasi, individualisme, hak asasi manusia, aturan hukum, dan kepemilikan pribadi.

Islamofobia tidak hanya menjangkiti sebagian masyarakat Barat, tetapi juga sebagian warga bangsa yang merasa “tidak nyaman” dengan eksistensi Islam sebagai agama mayoritas. Islam dipandang sebagai kekuatan yang “mengancam” kepentingan mereka. Karena itu, Islam dipersepsikan, bahkan dituduh, sebagai agama radikal, musuh demokrasi, antiperdamaian, prokekerasan, terorisme, dan sebagainya.

Fakta sosial menunjukkan Islamofobia di Barat diekspresikan, misalnya, dengan  membakar Alquran, membuat kartun penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW, intimidasi, diskriminasi terhadap komunitas Muslim, larangan menggunakan simbol-simbol Islam, dan sebagainya. Sedangkan fenomena Islamofobia di Indonesia mulai terbaca dengan sejumlah narasi tendensius dan pembentukan opini bernada anti-Islam dan kriminalisasi ulama, terutama melalui media sosial.   

Fenomena Islamofobia di Indonesia juga mengemuka melalui ujaran penistaan keji dan menjijikkan. Misalnya saja,  Islam dianggap sebagai agama arogan, agama pendatang dari Arab dan antikearifan lokal. Pandangan Islamofobia yang sarat provokasi, kebencian, dan adu domba ini tidak hanya mengusik kedamaian umat Islam dan ukhuwah kebangsaan, tetapi juga sangat potensial memicu kegaduhan dan disintegrasi NKRI.

Kasus stigmatisasi radikal terhadap Din Syamsuddin boleh jadi merupakan test of the water, dengan target dan agenda berikutnya adalah mendegradasi marwah Muhammadiyah dan umat Islam Indonesia. Pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Front Pembela Islam (FPI), bagi para aktivis Islamofobia, tampaknya dimanfaatkan sebagai pemantik target berikutnya: tokoh Muhammadiyah. Karena itu, umat Islam harus mewaspadai narasi-narasi dan aksi-aksi Islamofobia yang sangat destruktif dan kontraproduktif.

Fenomena Islamofobia di Indonesia tampaknya melihat bahwa jangkar dan fondasi kokoh NKRI adalah organisasi-organisasi sosial keagamaan, khususnya Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama, MUI, dan Persatuan Islam. Apabila salah satu dari organisasi tersebut berhasil diprovokasi dan diadudomba, niscaya kekuatan Islam di Indonesia akan menjadi rapuh, bahkan lumpuh. Karenanya mudah dibaca, Islamofobia di Indonesia patut diduga berkonspirasi dengan kekuatan asing dan kekuatan taktersentuh (invisible hand) untuk kepentingan politik tertentu dalam rangka memuluskan agenda busuknya.

Islamofobia dan Islamis radikal di Indonesia tentu diharapkan tidak akan mendapatkan momentum. Karena mayoritas umat Islam Indonesia sudah merasa nyaman dengan Islam moderat dan moderasi beragama, seperti yang dipromosikan oleh Muhammadiyah dan  Nahdlatul Ulama.

Namun, Islamofobia harus diwaspadai dan dihadapi dengan meneguhkan persatuan umat Islam, pemahaman holistik integratif, luas, dan luwes terhadap Islam. Termasuk aktualisasi nilai-nilai moderasi beragama dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Stigmatisasi radikal dan Islamofobia tidak akan mendapat momentumnya, jika para ulama, pemimpin, tokoh bangsa, dan umat Islam bersatu padu dan bersinergi dalam meneguhkan relasi agama dan negara (NKRI) dalam bingkai nilai-nilai Islam, Pancasila, dan nasionalisme. Karena Islam tidak pernah menjadi musuh bagi siapapun. Sejak masuk Indonesia, sebelum dan sesudah kemerdekaan, kehadiran Islam di bumi Nusantara bukan untuk ditakuti dan menjadi ancaman bagi siapapun. Islam dan umatnya selalu menjadi bagian integral sekaligus perekat persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.  

Karena itu, model dakwah dan pendidikan Islam yang menggembirakan, mencerdaskan, dan mencerahkan masa depan umat Islam perlu dikembangkan secara efektif dan menyentuh semua lapisan masyarakat. Fenomena Islamofobia akan terdegradasi apabila nilai-nilai Islam rahmatan lil alamin didakwahkan dan diaktualisasikan umat Islam dalam amalan dan perilaku nyata, sehingga menjadi umat Islam menjadi umat teladan terbaik (khaira ummah) bagi bangsa dan dunia.

Dari daftar di bawah ini, mana nih Hape favorit Kamu?

  • Samsung
  • Apple
  • Oppo
  • Vivo
  • Xiaomi
  • Huawei
  • Asus
  • Sony
  • Nokia
  • Lenovo
  • Oneplus
  • LG
  • ZTE
  • HTC
  • Meizu
  • Alcatel
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement