REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan pengujian formil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Mahkamah Agung yang diajukan oleh sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat (LSM).
"Menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Moh Mahfud MD, dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta, Rabu.
Uji formil terhadap UU MA diajukan oleh mantan Direktur LBH Jakarta, Asfinawati, Ketua Pelaksana Harian Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (Mappi) Hasril Hertanto, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Danang Widoyoko, dan Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Zainal Arifin Mochtar.
Menurut para pemohon, proses pembentukan UU 3/2009 tersebut telah mengakibatkan kerugian konstitusional para pemohon dan berpotensi dilanggarnya hak konstitusionalnya. Kerugian konstitusional itu adalah karena pembahasan UU MA dinilai dilakukan secara eksklusif dan tertutup dengan tanpa mengindahkan prinsip keterbukaan dan transparansi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Para pemohon mengemukakan bahwa mereka sebagai warga negara Indonesia seharusnya berhak untuk melihat rapat-rapat pembahasan UU MA yang ternyata dilakukan secara tertutup. MK menimbang bahwa berdasarkan bukti risalah sidang, ternyata pembahasan Tingkat I Raker RUU MA masih menyisakan butir yang belum mendapat persetujuan, yaitu perihal batas usia pensiun hakim agung.
Selain itu, MK juga mengemukakan bahwa terjadi kerancuan dalam pembicaraan Tingkat II Pleno, yaitu karena setelah fraksi-fraksi menyampaikan pandangannya kemudian dilanjutkan dengan pandangan pemerintah yang menyetujui RUU MA dan menyejajarkan pendapat pemerintah dengan pendapat fraksi.
Hal demikian, menurut MK, menimbulkan persoalan hukum terkait persetujuan pemerintah terhadap RUU yang belum disetujui oleh rapat pleno Tahap II DPR, yang setelah pengambilan keputusan pada rapat pleno DPR terjadi perubahan substansi.
Oleh karena itu, MK mengemukakan bahwa penyampaian persetujuan wakil pemerintah harus dilakukan setelah DPR mengambil keputusan disetujuinya RUU, dan bukan sebelumnya.
Mengenai dalil pemohon bahwa pembentukan UU MA tidak memenuhi ketentuan yang terdapat dalam UU 10/2004 karena dalam pembahasannya tidak dilakukan dengar pendapat publik, MA berpendapat bahwa pengajuan UU dilakukan terhadap UUD 1945 dan bukannya dengan UU yang lain, dalam hal ini UU 10/2004.
Dalam konklusinya, MK menyatakan bahwa terdapat cacat prosedural dalam pembentukan UU MA, namun demi asas kemanfaatan hukum, UU MA dinyatakan masih tetap berlaku.