REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA-Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mempermasalahkan fatwa yang melarang menyalati janazah koruptor bagi ulama. Menurut Ketua MUI, Ma’ruf Amin selama mempunyai dasar kuat maka fatwa yang telah dikeluarkan tetap sah.
Hanya saja, menyikapi fatwa Pengurus Besar Nahdlatul Ulama itu (PBNU), MUI belum merekomendasikan pihak manapun menggunakan fatwa tersebut sebagai sanksi moral terhadap pelaku tindak pidana korupsi.”Silahkan saja menganut fatwa itu, MUI belum berencana mengeluarkan fatwa serupa,”ujar dia di Jakarta, Ahad (22/8)
Ma’ruf menuturkan, saat ini MUI tidak akan menggunakan pendapat yang melarang ulama menyalati janazah koruptor Muslim. Terdapat dua alasan yang pertama, fatwa tersebut justru beresiko memicu masyarakat awam turut urung menyalati jazanah yang bersangkutan. Pasalnya, sesuai kebiasaan yang berlaku kalangan bawah mengikuti para kiai . Jika demikian, dikhawatirkan tidak satupun orang yang berkenan menyalatinya.
Alasan kedua, tambah dia, belum tentu sanksi pelarangan shalat janazah koruptor bagi kiai efektif membuat jera pelaku. Oleh karenanya, perlu ada alternatif sanksi lain yang lebih berat antaralain seperti memberlakukan pembuktian terbalik bagi koruptor. Sebab, selama ini asas hukum praduga tak bersalah kerap disalahgunakan agar tak terjerat sanksi.
Sementera itu, Katib Aam PBNU, Malik Madani, menegaskan PBNU tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang menfatwakan larangan menyalati janazah korupotor Muslim. Akan tetapi, fatwa yang merupakan hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama PBNU tahun 2002 tersebut mengimbau para kiai agar tidak menyalati jenazah koruptor.
Malik mengemukakan, imbauan tersebut dimaksudkan agar tidak timbul kesan bahwa ulama melegitimasi tindakan korupsi yang telah dilakukan oleh para koruptor. Mengingat, Indonesia adalah masyarakat agamis yang menempatkan kiai sebagai panutan dan figur publik. ”Sanksi ini akan menjadi pukulan berat atau menjadi semacam hukuman sosial bagi koruptor” kata dia.
Lebih lanjut, Malik menjelaskan dalam mengeluarkan fatwa tersebut, PBNU menggunakan landasan hadis. Dasar hadis itu menyatakan bahwa Nabi pernah tidak menyalatkan janazah kuruptor sebagaimana yang diriwayakatkan lima periwayat hadits selain Tirmidzi. Sebab itu, PBNU mengikuti ajaran Nabi sebagai petunjuk bagi para ulama yang merupakan pewaris para Nabi.
Malik mengungkapkan, fatwa tersebut dikeluarkan sebagai bentuk keprihatinan dan kontribusi aktif NU mengatasi tindak pidana korupsi (tipikor). NU menilai tipikor adalah tindak kejahatan luar biasa yang membutuhkan solusi tepat, tegas, dan menimbulkan efek jera. Disamping juga, pemberentasan korupsi memerlukan keterlibatan semua elemen bangsa tak terkecuali NU.
Malik mengimbau masyarakat untuk bersama-sama menghindari tipikor dan mengecam keras para pelakunya. Hal ini penting, mengingat paradigma masyarakat telah bergeser. Mencuri harta pribadi lebih hina daripada mengambil uang negara.”Padahal mengkorupsi kekayaan negara jauh lebih terkutuk dan membahayakan,”tegas dia.