REPUBLIKA.CO.ID,JERUSALEM--Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, Senin, kembali melarang para pemimpin Palestina menjalankan fungsi resmi di daerah Arab yang dicaplok Israel, Jerusalem timur, setelah tersiar laporan mengenai rencana Perdana Menteri Palestina Salam Fayyad untuk membuka dua sekolah. "Bapak Netanyahu telah memerintahkan dinas keamanan untuk menghalangi Pemerintah Otonomi Palestina(PM Salam Fayad, red) menyelenggarakan kegiatan atau upacara di dalam wilayah kotapraja Jerusalem," kata kantor PM Israel tersebut.
Surat kabar Israel, Haaretz, melaporkan Fayyad sebelumnya bermaksud menghadiri pembukaan satu sekolah di permukiman Dahayat as-Salam, Jerusalem, pada Selasa tapi polisi telah menutup bangunan itu. Ketika dihubungi oleh AFP, Ghassan Khatib, seorang pembantu Fayyad, menyatakan ia masih berencana melanjutkan upacara tersebut kendati Israel melakukan tindakan itu.
Pemerintah sayap-kanan Israel berkeras bahwa seluruh wilayah Jerusalem "adalah ibu kota abadi yang tak dapat dipisah" negara Yahudi. Rakyat Palestina mengklaim wilayah timur kota suci tiga agama langit tersebut sebagai ibukota negara masa depan mereka. Masa depan kota itu adalah salah satu masalah yang sangat sulit diselesaikan dalam konflik Timur Tengah.
Kementerian Dalam Negeri Israel awal 2010 menyatakan telah menyetujui pembangunan 1.600 rumah baru di permukiman Yahudi di wilayah sengketa Jerusalem. Permukiman itu berada di bagian timur kota suci itu, yang diklaim Palestina sebagai ibukota negara masa depan mereka dan dirujuk oleh masyarakat internasional sebagai Jerusalem Timur.
Pengumuman tersebut dikeluarkan ketika Wakil Presiden AS Joe Biden baru saja mengadakan pembicaraa hangat dengan Presiden Israel Shimon Peres dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengenai dilanjutkannya pembicaraan perdamaian dengan Palestina. Proses perdamaian tersebut berhenti pada Desember 2008, ketika Israel melancarkan serbuan besar militer terhadap Gerakan Perlawanan Islam (HAMAS) di Jalur Gaza.
Amerika Serikat belakangan mengutuk usul Israel itu dan mendesak Israel serta Palestina "agar membangun suasana yang mendukung pembicaraan perdamaian". Sedikitnya 450.000 orang Israel tinggal di sebanyak 100 permukiman di Tepi Barat Sungai Jordan dan Jerusalem Timur.
Wilayah Yahudi di Jerusalem Timur, yang direbut oleh Israel pada 1967 dan kemudian dicaploknya, dipandang oleh masyarakat internasional sebagai permukiman Israel dan salah satu penghalang utama proses perdamaian Palestina-Israel. Kendati telah mendapat pengutukan dan kecaman mengenai kegiatan pemerintah Netanyahu di Jerusalem Timur dan wilayah lain Palestina yang dijajahnya, namun tak satu pun negara di dunia yang mampu menghentikan tindakan Israel.