REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA—Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelejen Negara dinilai berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. Adanya sejumlah pasal yang belum jelas dan pembahasaan ayat yang sumir, menjadi celah dalam RUU yang disusun DPR itu.
Pandangan itu disampaikan Koordinator International Center for Transitional Justice (ICTJ), Usman Hamid. “Dalam RUU, dicantumkan wewenang intelejen yang bisa memeriksa seseorang selama 1X24 jam. Padahal hal itu merupakan tugas polisi. Wewenang berlebih bagi seorang intelejen bisa menjadi celah akan kemungkinan terjadinya penyelewengan dan pelanggaran HAM,” ujar Usman saat dihubungi Republika, Selasa (21/12).
Dia mengatakan, tak seharusnya intelejen diberikan kewenangan hukum dalam pelaksanaan kegiatannnya. Fungsi hukum, ujarnya, merupakan wewenang polisi dan kejaksaan. “Kerja intelejen adalah ekstra yudisial. Bukannya melakukan tindakan hukum seperti pemeriksaan. Kalau yang tertuang di RUU sebaliknya. Ini berpotensi menimbulkan tumpang tindih antara dengan polisi,” jelasnya.
Menurut dia, kegiatan intelejen harus dilandasi semangat perlindungan HAM. Usaha intelejen pun harus mengedepankan cara yang cerdas bukan dengan kekerasan. “Intelejen harus melaksanakan tugasnya secara intelegent (cerdas). Bagaimana cara mencari informasi dan keterangan harus dilakukan secara intelegent pula,” pungkasnya.
Dalam RUU yang dirumuskan DPR dijelaskan, metode kerja Intelijen Negara meliputi kegiatan-kegiatan seperti mengintai, menyadap; memasuki dan menggeledah bangunan, gedung, tanah pekarangan, dan kendaraan milik pribadi; serta menggeledah dan membuka barang-barang milik pribadi.