Rabu 16 Mar 2011 20:17 WIB

Masih Banyak, Inefisiensi Terjadi di Perbankan

Red: Djibril Muhammad
Darmin Nasution
Darmin Nasution

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Gubernur Bank (BI) Indonesia Darmin Nasution mengakui masih ada inefisiensi di industri perbankan seperti yang diungkap Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang sedang diupaya untuk menguranginya. "Memang ada inefesiensi di bank, itu benar dan kita 'concern' untuk turun," kata Darmin di sela-sela rakor Tim Pengendali Inflasi Daerah (TPID) di Jakarta, Rabu (16/3).

Menurutnya, BI sudah menyiapkan berbagai langkah agar inefisiensi itu turun agar spread atau selisih suku bunga kredit dan suku bunga tabungan mengecil, yang akan mendorong suku bunga kredit untuk turun. "Banyak langkah-langkahnya termasuk transparansi SBDK, dan itu saya kira dalam 3 sampai 6 bulan akan terlihat dampaknya ada," katanya.

Namun, selain itu untuk mendorong penurunan inefisiensi, BI akan terus meneliti kinerja bank-bank besar yang kurang masuk akal spread suku bunganya atau unsur biaya tertentunya dan akan dipanggil untuk meminta bank menurunkannya. "Kita akan beritahu bank itu kalau ternyata biaya mereka terlalu mahal dibanding bench mark yang ada dari bank-bank lain," katanya.

Namun, Darmin menolak pendapat KPPU yang menyatakan inefisiensi di perbankan mengarah pada sistem monopolistik karena menurutnya setiap bank menerapkan suku bunga yang beragam dan tidak ada pengaturan pembagian pasar. "Saya melihat tidak ada (kartel) karena masing-masing cukup beragam tingkat bunganya, tidak ada yang sama, tidak ada pembagian pasar dan sebagainya. Kartel kan hanya terlihat kalau gejalanya harga dia atur dan merugikan pihak lain atau ada pembagian wilayah, kedua-duanya tidak ada," kata Darmin.

Sebelumnya KPPU melihat industri perbankan Indonesia masih menghadapi masalah inefisiensi yang terlihat dari tingginya net interest margin (NIM) yaitu sekitar 5,8 persen per Desember 2010. Padahal NIM di Malaysia, Singapura, dan Filipina rata-rata 2,2 persen -4,5 persen. Tidak hanya itu, rasio biaya operasional terhadap pendapatan operasional (BOPO) di Indonesia masih sebesar 81,6 persen, sementara ketiga negara tersebut rata-rata 32,7 persen-73,1 persen.

Melihat ini semua, KPPU menilai produk dan jasa perbankan di Indonesia bersifat heterogen dan bentuk pasarnya diduga sudah mengarah kepada struktur persaingan monopolistis. Dalam kondisi tersebut produk perbankan sangat tersegmentasi dan masing-masing bank masih memiliki market power walau jumlah bank masih relatif banyak.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement