REPUBLIKA.CO.ID, Seperti makhluk hidup lain, nyamuk juga berubah bersama berjalannya waktu. Lingkungan dan iklim yang berubah membuat perilaku nyamuk berubah, populasinya makin padat, dan jangkauannya makin jauh meski kekuatannya menularkan penyakit menurut konsultan nasional WHO Prof Dr Mohammad Sudomo sama saja.
Beberapa faktor, seperti resistensi terhadap insektisida, memang membuat intervensi untuk mengendalikan nyamuk-nyamuk penyebar penyakit ini sedikit berubah, setidaknya dalam hal penggunaan dan pemilihan insektisida.
Namun strategi pencegahan dan pengendalian penyakit yang menular melalui gigitan nyamuk secara keseluruhan tidak banyak berubah, bahkan dengan teknologi yang kini berkembang pesat.
Upaya untuk memutus rantai penularan penyakit-penyakit tersebut sampai sekarang masih difokuskan pada pengendalian vektor.
Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan pengendalian vektor DBD antara lain dilakukan dengan menggiatkan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk melalui gerakan 3M Plus di setiap rumah tangga.
Gerakan 3M Plus meliputi kegiatan menguras dan menyikat tempat penampungan air secara rutin, menutup rapat tempat penampungan air serta mengubur atau menyingkirkan barang-barang bekas yang dapat menampung air hujan plus beberapa upaya memberantas tempat perkembangbiakan nyamuk.
Upaya pemberantasan tempat perkembangbiakan nyamuk dilakukan dengan secara rutin mengganti air pada vas bunga, memperbaiki saluran air, membubuhkan bubuk pembunuh jentik (abate atau altosid) di tempat yang sulit dikuras, memelihara ikan pemakan jentik, memasang kawat kasa, tidur menggunakan kelambu, dan menggunakan obat nyamuk.
Sedang upaya pengendalian vektor malaria, dia menjelaskan, dilakukan dengan penggunaan kelambu berinsektisida, penyemprotan rumah dengan insektisida dan penyemprotan larvasida di genangan air tempat nyamuk berkembang biak.
Dan pemutusan rantai penularan penyakit filariasis dilakukan dengan Program Obat Masal Pencegahan (POMP) dan tata laksana kasus dengan manifestasi lymphedema/elephantiasis/hidrokel, kata Prof Tjandra.