REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Para ulama memiliki pandangan berbeda mengenai ketetapan istri dalam memberikan syarat saat pernikahan berlangsung. Perbedaan pendapat juga terjadi pada ketetapan istri saat menjalani biduk rumah tangga.
Dalam buku Fikih Lima Mazhab karya Muhammad Jawad Mughniyah, perbedaan pendapat antara ulama dalam lima madzhab pun terjadi. Ulama dari Madzhab Hambali berpendapat, apabila seorang suami mensyaratkan atas dirinya sendiri bahwa ia tidak akan mengajak istrinya keluar dari negeri atau rumah, tidak mengajaknya berpergian jauh, atau tidak kawin dengan wanita lain, maka akad nikahnya sah atas syarat yang ditetapkan itu.
Sedangkan ulama-ulama dari Mazhab Hanafi, Syafi’i, dan Maliki berpendapat, syarat seperti itu batal tetapi akad nikahnya sah. Namun dalam keadaan seperti itu, Imam Sya’i'i dan Imam Hanafi berpendapat, suami wajib memberikan mahar mitsil (yang lazim seperti wanita seperti dia), bukan mahar musamma (mahar yang disepakati bersama).
Selanjutnya Mazhab Hanafi berketetapan, manakala suami (ketika akad nikah) mensyaratkan agar hak talak berada di tangan istrinya dengan ucapan semisal: “Saya bersedia menikahimu dengan syarat engkaulah yang menentukan talak atas dirimu,”. Maka, syarat seperti ini batal.
Akan tetapi bila si istri mensyaratkan hal tersebut dengan mengatakan kepada suaminya: “Saya menikahkan diri saya kepadamu dengan syarat bahwa hak talak berada di tangan saya,” dan kemudian semuami menerima menikahinya, maka syarat dan akad itu menjadi sah. Si istri dapat menjatuhkan talak kepada suaminya kapan saja dia mau.
Ulama-ulama dari Mazhab Imamiyah berpendapat, ketika akan nikah seorang istri mensyaratkan kepada suaminya bebrapa hal tertentu, maka dapat dirujuk berdasarkan alasanya. Syarat tersebut misalnya, agar ia tidak kawin dengan wanita lain, tidak mentalaknya, tidak melarangnya keluar rumah kapan dan ke aman saja dia kehendaki, mensyaratkan hak talak berada di tangannya, tidak mewarisinya, dan persyaratan-persyaratan lainnya, maka persyaratan itu batak sedang akadnya dipandang sah.
Meski demikian apabila si istri mensyaratkan agar suaminya tidak mengajaknya keluar dari negerinya, menempatkannya di rumah tertentu, atau tidak mengajaknya berpergian jauh, maka syarat dan akad itu menjadi sah.
Apabila suami tidak memenuhi syarat tersebut, si istri tidak berhak membatalkan perkawinan. Namun sekiranya si istri berada dalam kondisi seperti itu, tidak bersedia diajak pindah, maka si istri berhak atas hak-hak yang lahir dari ikatan perkawinan semisal nafkah dan lainnya.
Ulama dari kalangan mazhab ini juga berpendapat, abaila seorang istri mengklaim bahwa dia mensyaratkan sesuatu yang boleh atas suaminya, sebagaimana yang dicantumkan dalam redaksi akad, namun suaminya mengingkari adanya persyaratan tersebut maka si istri diwajibkan mengajukan bukti.
Sebab dalam hal ini, si istri mengklaim adanya tambahan pada akad. Ketika dia tidak mampu menunjukkan bukti atas benarnya syarat tersebut, maka si suami diharuskan bersumpah tentang tidak adanya syarat seperti itu. Karena, dialah yang mengingkarinya.
Ulama dalam mazhab Imamiyah ini berpendapat, syarat yang dianggap gugur di luar akad nikah justru dapat mengugurkan akad nikah. Akan tetapi syarat yang dianggap gugur dalam akad tidak mengugurkan akad nikah atau mahar itu sendiri. Kecuali bila disyaratkannya bentuk khiyar atau tidak berakunya semua dampak akad yang bertentangan dengan wataknya sendiri.
Hal itu lantaran mereka berargumen antara perbedaan perkawinan dengan bukan perkawinan berdasarkan hadis-hadis yang shahih. Sementara itu sebagian ulama madzhab berpendapat bahwa rahasinya terletak bahwa perkawinan itu secara hakiki bukan merupakan jenis jual-beli (ada imbalan) atau muwadhah seperti yang ada pada akad-akad yang lain.
Berkenaan dengan persoalan syarat ini, Jawad Mughiniyah menyebut, terdapat kajian luas di kalangan ulama-ulama Imamiyah yang tidak ditemukan pada kitab-kitab non-Imamiyah. Namun bagi mereka yang ingin mengetahui lebih lanjut, beliau menyarankan untuk membaca kitab Taqrirat al_na’ini dan Fiqh al-Imam as-Shadiq.