REPUBLIKA.CO.ID,
Oleh: KH Anang Rikza Masyhadi, Penerjemah buku Trilogi Sejarah Makkah, Madinah & Masjid Nabawi
Masjid al-Haram memiliki banyak keutamaan, sebagaimana dikisahkan dalam Alquran maupun hadis-hadis Nabi SAW. Salah satunya adalah riwayat dari Abu Dzar RA, bahwa ia berkata, “Wahai Rasulullah, masjid apakah yang pertama kali dibangun di muka bumi?” Rasulullah menjawab, “Masjid al-Haram.” “Lalu masjid apa lagi?" tanya Abu Dzar kembali. “Masjid al-Aqsha.” “Berapa lama antara keduanya?” “Empat puluh tahun,” jawab Rasul (HR Muslim).
Sedangkan, dari Jabir RA dikisahkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,“Shalat di masjidku (Masjid Nabawi) ialah 1.000 kali lebih utama daripada shalat di masjid selainnya, kecuali Masjid al-Haram. Karena shalat di sana lebih utama 100 ribu kali daripada shalat di masjid lain.” (HR Ibnu Majah)
Jika dihitung maka keutamaan shalat di masjid tersebut kira-kira sama dengan shalat di masjid lain selama 55 tahun, 6 bulan, 20 malam. Namun demikian, bukan berarti jika seseorang telah shalat di Masjid al-Haram kemudian tidak perlu shalat lagi jika telah kembali ke kampung halaman karena mengira telah kelebihan pahala dan keutamaan. Pandangan ini keliru besar.
Yang dimaksud oleh Rasulullah SAW ialah keutamaan dan pahala, bukan kewajiban shalatnya. Artinya, jika seseorang telah shalat di Masjid al-Haram dan mendapatkan banyak sekali keutamaan yang berlipat ganda, ia tetap wajib melaksanakan shalat di tempat lain selama masih hidup. Sebab, meninggalkan shalat berarti berbuat dosa besar.
Pada mulanya, dahulu orang shalat bersama imam di belakang Maqam Ibrahim, dekat Ka’bah. Namun, lama-kelamaan dirasa makin sempit karena bertambahnya jumlah jamaah sehingga gubernur Makkah pada waktu itu, Khalid bin Abdullah Al-Qusary (wafat 120 H), menata dan menertibkan shaf orang-orang yang shalat di Masjid al-Haram. Perbuatannya ini didukung ulama besar dari golongan tabi’in dan para as-salafus shaleh. Maka, diteruskanlah upaya baik tersebut.
Imam Atha’ ketika dimintai fatwanya tentang hal ini mengatakan, “Satu shaf di sekeliling Ka’bah dan seterusnya.” Maksudnya adalah bahwa shaf di Masjid al-Haram berbentuk melingkar mengeliling Ka’bah, mulai dari shaf paling depan–paling dekat dengan Ka’bah–dan seterusnya melingkar ke belakang.
Fatwa inilah yang digunakan hingga sekarang ini. Imam Atha’ mendasarkan fatwanya dengan mengutip sebuah ayat Alquran, “Dan engkau (Muhammad) akan melihat malaikat-malaikat melingkar di sekeliling ‘Arsy, bertasbih sambil memuji Tuhannya…” (QS az-Zumar [39]:75).
Pada zaman Rasulullah SAW maupun Khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq RA, Masjid al-Haram hanya hamparan halaman. Jika orang berdiri di dekat Ka'bah, ia bisa memandang ke sekeliling tanpa terhalang. Kemudian, pada masa Khalifah Umar bin Khaththab RA timbul inisiatif untuk memperluas Masjid al-Haram dengan cara membeli tanah di sekitarnya karena jamaah makin membeludak.
Namun, ketika akan transaksi jual beli tanah itu ada beberapa tokoh pemuka Makkah yang mencegah dan menghalang-halanginya. Lalu, Umar bin Khaththab menghardik mereka dengan nada keras, “Kalian semua memang diturunkan di Ka’bah, tetapi Ka’bah tidak diturunkan untuk kalian, melainkan karena keabadiannya.”
Sejarah mencatat bahwa Khalifah Umar bin Khaththab RA ialah orang yang pertama kali memberi dinding dan tembok di sekeliling al-Haram. Umar-lah yang membuat pintu-pintunya dan melapisi lantai tempat tawaf dengan batu-batu kerikil.
Setelah Khalifah Umar bin Khaththab RA, perluasan dilakukan secara berturut-turut oleh khalifah-khalifah selanjutnya: Usman bin Affan RA (26 H), Abdullah bin Zubair RA (65 H), Al-Walid bin Abdul Malik RA (91 H), Abu Ja’far al-Manshur al-Abbasi (137 H), Muhammad al-Mahdi al-Abbasi RA (160 H), dan Al-Mu’tadid al-Abbasi RA (284 H).
Lainnya adalah Al-Muqtadir al-Abbasi RA (306 H), Raja Abdul Aziz as-Saudi (1375 H), Raja Fahd bin Abdul Aziz as-Saudi (1409 H), Raja Abdullah bin Abdul Aziz, yang dikenal membangun megaproyek perluasan Masjid al-Haram dengan dana miliaran dolar. Proyek itu diteruskan Raja Salman bin Abdul Aziz.
Di dalam masjid itu terdapat tempat sa'i. Nabi SAW pernah mengumpulkan orang-orang Quraisy Makkah di Bukit Shafa untuk mendakwahi mereka kepada tauhid. Orang-orang Quraisy pun antusias menghadiri undangan itu, termasuk Abu Lahab.
Bahkan, jika ada yang berhalangan, mereka mengirimkan utusannya. Mereka ingin memastikan apa yang akan dilakukan oleh Muhammad SAW. Setelah Nabi menyampaikan seruan dakwahnya, Abu Lahab marah-marah dan mengumpat, “Celaka kau, untuk inikah engkau mengumpulkan kami?” Setelah itu turunlah surah al-Lahab sebanyak lima ayat.
Di dalam Kitab Sirah li Ibni Hisyam disebutkan bahwa di Bukit Shafa itu pula Nabi SAW pernah disakiti dan dipukul kepalanya dengan batu oleh Abu Jahal hingga terluka dan mengeluarkan darah. Ketika Hamzah bin Abdul Muthalib yang notabene adalah paman Nabi mengetahui hal itu, ia langsung mendatangi Abu Jahal yang ketika itu sedang berkumpul bersama orang-orang Quraisy di dekat Ka’bah.
“Bagaimana engkau mengumpat keponakanku sementara aku berada dalam agamanya?” hardik Hamzah kepada Abu Jahal. Kemudian, sebagai pembalasan, ia memukul Abu Jahal dengan busur panah hingga menyebabkan luka yang cukup parah.
Demikianlah sekelumit peristiwa yang terjadi di tempat sa'i. Namun, sesungguhnya ibadah sa'i antara Bukit Shafa dan Marwa, baik dalam haji maupun umrah, adalah untuk menapaktilasi perjuangan dan pengorbanan Hajar. Kisahnya adalah ketika Ibrahim, Hajar, dan putranya, Ismail, sedang berada di dekat Ka’bah. Ketika Ibrahim AS dipanggil oleh Allah untuk pergi ke suatu tempat, otomatis Hajar dan anaknya ditinggalkannya di situ dengan persediaan air seadanya.
Ketika air itu habis, Hajar memandangi putranya, Ismail, yang menggeliat karena mulai kehausan. Maka, Hajar pun naik ke Bukit Shafa untuk melihat apakah ada orang lain yang bisa menolongnya atau bahan makanan minuman yang bisa diperolehnya. Ternyata tidak ada. Lalu, larilah ia ke Bukit Marwa, tetapi hasilnya pun sama.
Hal itu dilakukannya sebanyak tujuh kali antara Shafa dan Marwa. Pada putaran ketujuh di Marwa, Hajar mendengar suara, lalu ia berkata, “diamlah.” Namun, suara itu terus terdengar. Ternyata itu adalah suara malaikat yang mengepakkan sayapnya di dekat Ka’bah. Maka, memancarlah air zamzam. Itulah usaha dan kesungguhan Hajar yang akhirnya membuahkan hasil.
Hikmah dari sa'i adalah seseorang tidak dibenarkan berputus asa dalam usahanya mencari kehidupan. Sa'i antara Shafa dan Marwa secara filosofis menggambarkan usaha duniawiyah kita. Setiap hari, seseorang akan mondar-mandir dari rumahnya menuju tempat pekerjaannya, dan itu dilakukan selama bertahun-tahun. Bosankah melewati jalan yang sama setiap hari? Tidak, sebab di situlah ia mendapatkan kehidupan duniawinya.
Maka, dalam meniti usaha duniawiyah itulah, kita dituntut sabar, istiqamah, optimistis, dan penuh harap kepada Allah SWT. Sebagaimana yang diteladankan Hajar. Jika demikian, kelak kita akan mendapatkan zamzam kehidupan, layaknya Hajar. Maka, carilah rezeki dunia seperti zamzam: bersih, suci, abadi, dan diberkahi oleh Allah SWT. Itulah makna sa'i. Sa'i itu sendiri artinya adalah usaha.
Gunakan kesempatan selama di Tanah Suci untuk memperbanyak beribadah. Nikmatilah setiap kesempatan untuk bercengkerama dengan Ka’bah, sebagaimana pesan Rasulullah, “Bersenang-senanglah kamu dengan Baitullah ini, karena sesungguhnya ia telah dirobohkan sebanyak dua kali, dan pada kali yang ketiga ia akan diangkat (oleh Allah).” (HR al-Bazzar).