REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG - Wakil Ketua DPR Pramono Anung menilai kontroversi pembangunan gedung baru DPR karena komunikasi yang buruk sehingga menimbulkan perspektif salah di masyarakat. "Kami mengakui komunikasi soal pembangunan gedung baru DPR memang buruk sekali," katanya usai kuliah umum bertema "Manajemen Komunikasi Politik di Era Konvergensi" di Semarang, Selasa (29/3).
Akibatnya, kata dia, menimbulkan persoalan dan keresahan di publik, seperti perspektif yang ditangkap masyarakat bahwa pembangunan setiap ruang di gedung baru itu mencapai Rp 800 juta. Menurut dia, apabila memang anggaran pembangunan setiap ruang di gedung baru DPR itu mencapai Rp 800 juta, maka setidaknya dibutuhkan anggaran pembangunan dengan total Rp 4,8 triliun.
Ia menyebutkan jumlah ruang di gedung baru itu sebanyak 600 ruang sehingga logikanya butuh anggaran Rp 4,8 triliun, padahal anggaran pembangunan gedung baru itu hanya Rp 1,1 triliun. Ditanya anggaran pembangunan setiap ruangan di gedung baru DPR itu, ia tidak memerinci, namun total anggaran senilai Rp 1,1 triliun itu tidak hanya digunakan untuk pembangunan 600 ruangan.
Anggaran pembangunan gedung baru DPR senilai Rp 1,1 triliun itu, lanjut Pram, termasuk fasilitas 'lift', dan lain sebagainya sehingga tidak benar kalau satu ruangan dianggarkan Rp 800 juta. "Komunikasi tentang pembangunan gedung baru DPR yang buruk seperti ini yang kemudian menimbulkan keresahan di masyarakat," tutur mantan Sekjen PDI Perjuangan ini.
Sama halnya, menurut dia, ketika ada pemberitaan bahwa pembangunan gedung baru DPR dilengkapi fasilitas kolam renang dan spa, padahal sebenarnya tidak ada rencana fasilitas semacam itu. Oleh karena itu, Pramono sebagai salah satu pimpinan DPR mengatakan akan mengundang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk secara proaktif mengawasi.
"Kami akan mengundang KPK dan BPK, baik sebelum tender maupun pembukaan sampul untuk menghindari dugaan adanya penyalahgunaan anggaran pembangunan gedung baru DPR," tandas Pramono.