REPUBLIKA.CO.ID,
BENGKULU - Kepala Kejaksaan Tinggi Bengkulu Herman Rahmat mendesak Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menyerahkan putusan vonis bebas gubernur nonaktif Agusrin Najamudin untuk kepentingan penyusunan memori kasasi.Herman mengatakan kejanggalan putusan Agusrin yang dibeberkan Indonesia Corruption Watch (ICW) akan dimasukkan dalam materi kasasi tersebut.
ICW melansir 12 kejanggalan dari proses pengadilan Agusrin dengan ketua majelis hakim Syarifuddin di PN Jakarta Pusat.
Kejanggalan tersebut antara lain pada putusan terdahulu atas nama terdakwa Chairuddin di Pengadilan Negeri Bengkulu tentang keterlibatan gubernur dan kerja sama untuk membuka rekening khusus di BRI Bengkulu tidak dijadikan pertimbangan oleh hakim.
Padahal perbuatan Agusrin dan Chairudin diyakini secara bersama-sama melawan hukum dan bersama-sama telah merugikan keuangan negara.
Kejanggalan kedua, keterangan ahli BPK dan BPKP dalam hal perhitungan kerugian negara sama sekali tidak dijadikan pertimbangan hakim. Padahal sesuai hasil perhitungan BPK No 65/S/I-XV/07/2007 tanggal 30 Juli 2007 menunjukkan adanya kerugian negara dalam kasus tersebut, setidaknya Rp 20.162.974.300.
Kejanggalan lainnya adalah bukti surat asli No 900/2228/DPD.I tanggal 22 Maret 2006, yang ditandatangani oleh Agusrin tidak menjadi pertimbangan oleh hakim. Justru tanda tangan Agusrin yang di-"scan" oleh Chairudin dijadikan dasar oleh hakim untuk membebaskan terdakwa dari dakwaan JPU.
Hakim beralasan bahwa surat Agusrin dipalsukan, padahal JPU dapat menunjukkan surat asli yang ditandatangani terdakwa. Terdapat juga bukti foto tumpukan uang yang diterima oleh ajudan gubernur, tidak dipertimbangkan oleh hakim. Foto itu diambil oleh Chairuddin (Kadispenda Provinsi Bengkulu) yang menunjukkan bahwa ajudan Agusrin, Nuim Hayat, menerima uang dari yang bersangkutan di Bank BRI Kramat Raya.
Menurut ICW, Agusrin juga menyetujui bonus menutupi temuan penyimpangan BPK sebesar Rp21,3 miliar dengan cara melakukan investasi saham melalui PT Bengkulu Mandiri kepada PT SBM dan PT BNN. Persetujuan itu diambil dalam rapat yang dipimpin terdakwa di gedung daerah pada 6 Mei 2007.
Terdakwa melakukan proses pengembalian dana secara fiktif pascatemuan penyimpangan oleh BPK terhadap dana bagi hasil PBB/BPHTB. Modusnya, membuat bukti pertanggungjawaban seolah-olah ada pembelian steam boiler seharga Rp 4,5 miliar.
Putusan pengadilan negeri yang belum diserahkan kepada penuntut umum sehingga kesulitan membuat memori kasasi juga menjadi sorotan ICW.
Menurut ICW, tertangkap tangannya hakim Syarifuddin Umar dalam dugaan suap perkara pailit PT SCI menguatkan kecurigaan adanya praktik mafia hukum dalam kasus Agusrin.
Pasalnya selain tindakan hakim di luar kewajaran dalam proses persidangan, KPK menyita sejumlah uang dalam bentuk mata uang asing yang patut dicurigai dari perkara-perkara yang pernah ditangani yang bersangkutan.