REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nasib warga Indonesia di perbatasan, termasuk Dusun Tanjung Duta dan Camar Bulan, Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Serawak, Malaysia benar-benar susah. Sebagai putra asli Kalimantan Barat, hakim konstitusi Akil Mochtar pernah membuktikannya.
Selain karena tidak ada perhatian pemerintah pusat tentang pembangunan infrastruktur daerah tertinggal, kata Akil, warga juga dipersulit aparat perbatasan ketika ingin menjual hasil buminya. Ia ingat ketika pernah bersama warga setempat ingin menjual sarang walet ke kota terdekat di Malaysia.
Ketika melintasi pos perbatasan, kendaraan yang ditumpanginya dicegat aparat dan tidak boleh melintas. Pihaknya boleh melintas dengan syarat harus membayar uang beberapa juta rupiah. "Setelah saya tunjukan bahwa saya anggota DPR, mereka takut dan menyilahkan saya menuruskan perjalanan," kata Akil kepada Republika, Rabu (12/10) pagi.
Akil mengaku banyak mendapat keluhan terkait perangi buruk aparat yang suka memalaki warga setempat. Tidak sedikit yang harus merelakan kehilangan duit banyak demi dapat menjual sarang burung walet.
Karena tidak sedikit warga yang enggan bayar, akhirnya truk pengangkut ditahan beberapa jam. Dampaknya sarang walet menyusut dan ketika dijual harganya rendah.
Akil menjelaskan, alasan warga perbatasan tidak menjual ke kota terdekat di Kalimantan Barat karena memerlukan perjanana setidaknya belasan jam dan menempuh medan berat menaiki gunung dan menuruni lembah. Karena resiko lebih besar, lebih baik mereka menjual ke tengkulak di Malaysia. "Inilah nasib warga perbatasan, serba susah," kata Akil menjelaskan.