REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Wakil Ketua MPR, Lukman Hakim Saifuddin, mengatakan satu-satunya jalan yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah pemilukada di Aceh adalah dengan menggunakan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu).
"Hanya Perpu yang menjadi dasar hukum atau payung hukum dari penundaan ini," kata Lukman.
Alasannya, kata dia, penundaan ini diatur oleh undang-undang yang secara jelas menyatakan, penundaan hanya dapat dilakukan karena bencana alam. Atau karena terjadi kondisi darurat yang tak memungkinkan lagi.
Karenanya, gugatan Mendagri ke Mahkamah Konstitusi (MK) kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak akan menyelesaikan masalah karena tidak punya otoritas untuk itu. Kalau itu dilakukan, dikhawatirkan landasan yuridisnya sangat lemah. Serta membawa implikasi anak masalah baru yang menimbulkan persoalan keabsahan pilkada di aceh. Siapa pun yang terpilih.
Wakil Ketua Partai Persatuan Pembangunan (PPP) tersebut pun mendorong agar segera memproses Perpu itu tanpa menunggu keputusan MK. Setidaknya, dalam kurun waktu satu-dua hari ke depan. Jika tidak dilakukan, ujarnya, maka KPU dan Komisi Independen Pemilih (KIP) Aceh akan kerepotan dalam mempersiapkan mempersiapkan tahapan.
"Menurut saya, tak perlu menunggu gugatan di MK diputus. Karena tanpa ditunggu pun kita semua sudah tahu, MK tidak akan mengeluarkan apa pun putusan terkait Pilkada. Karena dia tak terkait dan memiliki kewenangan itu," papar dia.
Menurutnya, pendekatan ini pun tidak memiliki tendensi politik. Karena semata-mata urusan hukum ketatanegaraan agar tetap konstitusional dan tidak melanggar hukum. Pemerintah pun harus memberikan perhatian serius terhadap Aceh karena potensial untuk hal yang tidak diinginkan terkait keamanan. Apalagi persoalannya tidak sederhana, yaitu penundaan pilkada memerlukan payung hukum yang kuat.