REPUBLIKA.CO.ID, AMBON - Penyitaan harta kekayaan para koruptor tidak serta merta menjadikan mereka langsung jatuh miskin seperti kebanyakan masyarakat di Indonesia. Pasalnya, para koruptor ini sebenarnya masih tergolong kelas menengah.
"Seorang koruptor biasanya sudah memperhitungkan risiko dari perbuatannya kalau tertangkap suatu saat, sehingga berbagai cara ditempuh agar tetap memiliki simpanan modal bagi keluarga selama menjalani masa hukuman," kata pengamat hukum Universitas Pattimura (Unpatti) Ambon, G Leasa, di Ambon, Selasa (6/3).
Jadi belum tentu seorang terpidana kasus korupsi bersama keluarganya langsung jatuh miskin akibat harta kekayaan mereka disita oleh negara. Menurut Leasa, wacana memiskinkan para koruptor di Indonesia harus dilakukan sejak awal penyusunan penuntutan berupa penentuan lamanya pidana penjara dan jumlah uang pengganti atau denda yang besar.
Prinsipnya kalau negara mau telanjangi koruptor, maka ancaman hukumannya berupa pidana penjara dan denda dalam jumlah besar harus dibuat sejak proses penuntutan. "Dua ancaman hukuman ini tidak berdiri sendiri tapi merupakan satu kesatuan dari tindak pidana pokok yang harus dipertimbangkan serta dijalankan para hakim di Pengadilan Tipikor sehingga orang tidak menafsirkan ada norma baru," kata mantan Dekan Fakultas Hukum Unpatti ini.
Misalnya seseorang melakukan tindak pidana korupsi sebesar Rp2 miliar dan menyimpannya di bank atau menjalankan bisnis, maka uang ini otomatis akan berbunga sehingga seluruh dana harus disita negara, kemudian dijatuhi sanksi pidana penjara yang setimpal.
Dalam penanganan kasus Gayus Tambunan misalnya, Leasa menyatakan setuju dengan penjatuhan sanksi pidana penjara enam tahun dan denda berupa penyitaan harta kekayaan oleh negara melalui keputusan majelis hakim yang menanganinya.
"Dari kacamata pengacara, Gayus pasti dibela kuasa hukumnya tapi harus diingat juga kalau kemiskinan negara adalah kemiskinan rakyat, sementara koruptor di negara ini masih banyak berkeliaran dan harus diberantas," katanya.
Lagi pula, lanjut Leasa, di Indonesia saat ini belum menerapkan hukuman mati atau penjara seumur hidup bagi para tersangka kasus dugaan korupsi sehingga perampasan harta kekayaan koruptor oleh negara ini haruslah dijalankan.
"Efek jera dari upaya penegakan supremasi hukum yang tegas dalam memberantas kasus-kasus korupsi ini harus dikaji ke depannya, apakah volumenya akan berkurang karena hanya di penjara dan membayar denda kepada negara lebih efektif atau suatu saat perlu diterapkan hukuman mati atau penjara seumur hidup agar orang takut melakukan korupsi," katanya