REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Banyaknya komentar di luar konteks terkait putusan uji materi (judicial review) Undang-Undang (UU) Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 43 Ayat 1 tentang Perkawinan membuat Mahkamah Konstitusi (MK) perlu meluruskannya.
Wakil Ketua MK Achmad Sodiki menjelaskan tiga hal yang tidak sinkron terkait putusan mengenai anak yang lahir di luar nikah memiliki hubungan perdata dengan ayah dan keluarga ayahnya, tidak hanya dengan ibu dan keluarga ibunya sebagaimana aturan sebelumnya.
Rasionalitas itu adalah perspektif alamiah dan konstitusionalitasnya, makna hukum (legal meaning) putusan MK, dan perspektif UU Perkawinan.
Dijelaskan Sodiki, setiap kelahiran secara alamiah pasti didahului kehamilan seorang perempuan sebagai akibat hubungan seksual dengan seorang lelaki atau melalui rekayasa teknologi. Karena itu, laki-laki yang membuahi perempuan yang menyebabkan terjadinya kelahiran anak tersebut harus bertanggungjawab sebagaimana diatur dalam UUD 1945 Pasal 28B Ayat 2.
Dia menyatakan, peraturan yang ada tidak boleh meniadakan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang menyebabkan lahirnya anak tersebut sebagai bapak dan ibunya. Sehingga tanggung jawab tersebut melekat pada kedua orang yang berhubungan seksual itu, bukan hanya pada salah satu pihak.
"Kesengajaan meniadakan tanggung jawab dari laki-laki merupakan kesewenang-wenangan terhadap perempuan dan bentuk pelanggaran hukum," kata Sodiki di Gedung MK, Rabu (7/3).
Sebelum putusan MK, imbuhnya, ketentuan yang berlaku terhadap anak yang lahir di luar perkawinan, hanya memberikan hubungan perdata dan tanggung jawab kepada ibu dan keluarga ibunya saja. Dan itu disebutnya sangat tidak adil. Pasalnya hal itu sama saja membebankan kesalahan dan tanggungjawab hanya kepada seorang perempuan sebagai ibu.
"Setiap anak lahir dalam keadaan suci, tidak berdosa. Laki-laki selaku ayah harus tanggung jawab terhadap perbuatannya," terang Sodiki.