Senin 02 Apr 2012 15:03 WIB

Demokrat Yakin MK akan Tolak Uji Materi Pasal 7 Ayat 6a

Ketua Hakim Konstitusi memimpin sidang pengujian materi undang-undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta
Foto: Antara
Ketua Hakim Konstitusi memimpin sidang pengujian materi undang-undang di Mahkamah Konstitusi, Jakarta

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Belum juga uji materi pasal 7 ayat 6a diajukan ke Mahkamah Konstitusi ((MK), Partai Demokrat sudah yakin benar bahwa upaya yang akan dilakukan mantan Menteri Hukum dan Kehakiman Yusril Ihza Mahendra itu akan kandas.

Demikian disampaikan anggota Fraksi Partai Demokrat DPR, Heriyanto, di Jakarta, Senin (2/4). Ia meyakini bahwa MK akan menolak uji materi pasal 7 ayat 6a tentang UU APBN Perubahan 2012 mengenai opsi penetapan kenaikan harga BBM.

Sebaliknya, anggota partai-partai politik di luar koalisi partai politik pendukung Presiden Susilo Yudhoyono, berkeyakinan tidak demikian. Bekas menteri hukum dan HAM, Yusril Mahendra, juga akan mengajukan uji materi atas pasal itu, begitu amandemen UU APBN Perubahan 2012 disahkan Kepala Negara, Presiden Yudhoyono.

Heriyanto menilai tidak ada yang salah dalam pasal itu. Pasal tersebut justru mengembalikan hak konstitusional pemerintah atau presiden untuk menetapkan harga BBM.

"Saya mendapatkan masukan dari banyak konstituen, ayat 6 a itu sudah benar. Kami yakin hal itu akan ditolak oleh MK. Asumsi yang mereka kembangkan alasan mengajukan itu karena pemerintah menetapkan harga berdasarkan harga internasional sehingga bertentangan dengan konsitusi," katanya.

Menurut dia, karena ketidakpahaman saja dalam menghitung harga BBM sehingga muncul gugatan itu. Dalam setiap APBN, harga yang dituliskan hanya asumsi. Setiap asumsi tentunya harus diubah kalau kondisi dan kenyataannya berbeda dengan asumsi.

Asumsi itu dibuat karena ada ketidakpastian di dalamnya. Karena itu, dengan tambahan ayat 6 a, maka pemerintah diberikan ruang untuk mengoreksi asumsinya.

"Harga pasar itu hanya untuk ukuran saja, kalau tidak menggunakan patokan bagaimana pemerintah mengukurnya? Kita 'khan hidup di era globalisasi, maka harga pasar internasional digunakan," katanya.

Kewenangan menentukan harga ada pada pemerintah dan bukan pada mekanisme pasar. "Kalau tidak menggunakan ukuran, terus bagaimana menghitungnya?," katanya.

Dia mengatakan, pasal 6a tidak serta merta memberi ruang kepada pemerintah untuk menaikan harga BBM bersubsidi jika harga internasional naik. Dalam ayat 6a itu tertulis "pemerintah berhak menentukan harga kalau harga minyak standar ICP naik 15 persen dari asumsi APBN".

Harga rata asumsi APBN kini 105 dolar AS dan itu artinya pemerintah baru bisa menaikan harga jika harga pasar 15 persen di atas itu atau mencapai 120,75 dolar AS per barel selama enam bulan berturut-turut.

Jika harga di bawah itu misalnya 120 dolar AS maka pemerintah tidak boleh menaikkan harga, meski itu sangat membebani APBN dan membuat negara mengalami defisit 15 dolar per barel.

 

"Karena harga 120,75 dolar AS tidak tercapai dan kalau berjalan satu tahun, bayangkan berapa besar jumlahnya hanya untuk subsidi BBM. Pemerintah tentunya mengharapkan agar harga bahkan turun dari 105 dolar AS, namun situasi sekarang hal itu hanya mimpi di siang bolong," katanya.

Dia mengatakan kalau mau jujur melihat pasal 7 ayat 6 juga pemerintah tidak diberikan ruang untuk menyesuaikan APBN. Dia mengaku mendapatkan banyak masukan mengenai pasal itu dan sepertinya hal itu juga bisa dikoreksi sehingga pemerintah bisa memiliki kewenangan untuk menentukan dan bertanggung jawab atas harga BBM yang ditetapkan.

"Pasal itu mengikat kaki pemerintah untuk melakukan hal-hal yang dianggap perlu. Pemerintah terkesan tidak boleh mengambil tindakan," tandasnya.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement