REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengingatkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak boleh terlihat lemah di hadapan publik Indonesia setelah mengabulkan grasi lima tahun kepada terpidana kasus narkotika Schapelle Corby.
Hal tersebut mengingat publik Indonesia tahu bahwa Australia sudah menekan pemerintah Indonesia sejak lama untuk mengupayakan perlindungan bagi Corby.
"Perlindungan Corby merupakan agenda lokal Australia di mana publik di sana menekan pemerintah Australia dan pada gilirannya pemerintah Australia menekan pemerintah Indonesia. Tekanan dilakukan mulai dari permintaan untuk membuat perjanjian Transfer of Sentenced Person (Pemindahan Terpidana), hingga akhirnya dikabulkannya grasi," kata Hikmahanto kepada Republika, Selasa (23/5).
Oleh karena itu, lanjut Hikmahanto, untuk menghindari persepsi negatif dari publik Indonesia, pemerintah Indonesia, dalam hal ini Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) harus meminta agar Australia segera menyelesaikan sejumlah masalah hukum pihak Australia terhadap WNI (warga negara Indonesia) . Salah satunya adalah para nelayan yang ditahan tanpa persidangan di Australia.
Selain itu, masih menurut Hikmahanto, pemerintah Indonesia juga harus meminta Australia untuk melakukan ekstradisi terhadap WNI yang sedang berada di negara lain dan negara tersebut memiliki perjanjian ekstradisi dengan Australia.
Hikmahanto memisalkan, kasus Radius Christanto, seorang WNI, yang sedang berada di Singapura untuk memeriksa kesehatannya diminta oleh otoritas Australia untuk diekstradisi atas dugaan kasus yang terjadi pada 1999 yang dikenal dengan Kasus Sucurency. Pemerintah Singapura pun sudah melakukan penahanan.
"Padahal antara Indonesia dan Australia memiliki perjanjian ekstradisi, bahkan selama ini Radius berada di Indonesia," kata Hikmahanto.
Menurut Hikmahanto, bila cara Australia untuk meminta negara lain mengekstradisi WNI berhasil maka bukannya tidak mungkin para mantan pejabat militer Indonesia yang dituduh di Australia melakukan kejahatan internasional ketika mereka berada di Singapura atau negara lain di mana Australia memiliki perjanjian ekstradisi, bisa dimintakan untuk diekstradisi.
"Di sinilah Pemerintah Indonesia harus meminta kepada pemerintah Australia resiprositas atau timbal balik atas pengabulan grasi Corby. Sehingga pemerintah Indoneisa tidak dianggap lemah ketika berhadapan dengan Australia," kata Hikmahanto.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberikan grasi atau pengurangan masa tahanan kepada terdakwa kasus narkoba asal Australia, Schapelle Leigh Corby. Presiden memberikan Corby grasi lima tahun dari total vonis penjara selama 20 tahun.
Menteri Sekretaris Negara Sudi Silalahi mengatakan, Grasi dari Presiden ini mempertimbangkan sistem hukum Indonesia dan warga negara Indonesia (WNI) di Australia yang juga tengah menjalani masa hukuman di sana.
Corby divonis selama 20 tahun oleh Pengadilan Negeri Denpasar, karena terbukti membawa marijuana atau ganja seberat 4,2 kilogram saat berkunjung ke Bali. Dia kini ditahan di Penjara Kerobokan Bali.