REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Konstitusi Akil Mochtar menganggap, sumbangan masyarakat untuk pembangunan gedung baru Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan bentuk gratifikasi.
Hal itu lantaran sumbangan yang masuk bisa berasal dari praktik pencucian uang, dan tindakan ilegal lain.
Selain itu, jelas dia, gratifikasi juga bisa berlaku tidak hanya kepada perseorangan, melainkan juga lembaga yang memiliki badan hukum.
"Saweran buat gedung KPK itu gratifikasi," tegas Akil saat berbincang dengan wartawan di kantornya, Kamis (28/6).
Pada alasan lain, lanjut dia, sumbangan yang masuk dan berasal dari masyarakat tidak akan bisa teridentifikasi secara jelas. Dalam hal tersebut, tidak ada antisipasi bahwa yang menyumbang merupakan kelompok-kelompok yang acap melakukan kegiatan ilegal. Karena itu, KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi bisa termasuki dana tidak jelas.
KPK, kata Akil, bukanlah sama dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang bisa mendapatkan dana bantuan dari manapun. KPK, sambungnya, adalah lembaga negara yang harus tunduk pada aturan yang berlaku.
Karenanya, KPK tidak bisa mendapatkan bantuan dana dari tangan-tangan yang tidak memiliki kejelasan. "KPK harus diselamatkan lembaganya," kata dia.
Menurut dia, pun jika gedung baru itu terwujud dari dana hasil sumbangan, maka KPK akan menjadi lembaga yang mudah mendapat tekanan. Dalam hal tersebut, masyarakat sebagai penyumbang akan merasa menjadi bagian dari keberadaan lembaga ad hoc itu. Karenanya, sebagai penyumbang, maka masyarakat dapat menekan KPK untuk segera menghukum seseorang.
Tak hanya itu, ungkap Akil, permasalahan baru yang akan timbul juga pada biaya perawatan gedung. Misalkan pembiayaan bagi karyawan, teknologi penunjang, dan anggaran untuk renovasi.
Karena itu, Akil meminta KPK untuk segera menghentikan kegiatan saweran tersebut. KPK, dimintanya untuk lebih mengedepankan pada upaya supervisi lembaga-lembaga lain yang memiliki tugas mencegah tindak pidana korupsi.
Dalam upaya tersebut, Akil lebih menekankan pada peningkatan sistem anti-korupsi. Sebab, penanganan perkara korupsi lebih banyak pada setalah praktik tersebut terjadi, bukan pada pencegahan sebelum terjadi. "KPK bisa memberikan visi kepada lembaga setingkat Kejaksaan untuk menciptakan sistem anti-korupsi," imbuhnya.
Senada dengan Akil, Ketua Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Marwan Jafar juga menganggap kegiatan memberikan sumbangan terhadap gedung KPK baru adalah gratifikasi. Karena itu, pihaknya meminta KPK untuk segera menghentikan kegiatan tersebut.
Solusinya, kata dia, harus ada kesepakatan antara Kementerian Keungan (Kemenkeu) dan DPR RI. “Istilahnya dibintang. Jadi harus ada kesepakatan antara dua lembaga itu, jangan hanya DPR,” ujarnya.