REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik Zuhairi Misrawi mengatakan terdapat dua hal yang perlu diperhatikan dalam kekerasan yang terjadi di Sampang, Madura, Jawa Timur. Pertama mengenai adanya perbedaan keyakinan, yaitu Sunni dan Syiah.
Sebagai putra Madura, ia menolak jika kekerasan yang terjadi diidentikkan dengan karakter orang Madura. Ia mengatakan orang Madura memegang teguh filosofi Taretan, yaitu menganggap semua orang adalah saudara. Bahkan, hal itu terlihat dari tata kota di Madura dimana Masjid pasti berdampingan dengan gereja.
Ia mengaku sudah memantau adanya gejala kekerasan di wilayah tersebut sejak 1,5 tahun lalu. Dalam kurun waktu tersebut terdapat gerakan sistematis yang menebarkan kebencian terhadap pengikut keyakinan Syiah.
"Hal itu diperparah dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Madura yang menyebutkan Syiah adalah aliran sesat dan jadi kebijakan pemerintah daerah," ujar pria yang akrab disapa Gus Mis dalam diskusi bertema 'Kekerasan dan Komnas HAM' di Warung Daun, Sabtu (1/9).
Fatwa MUI Madura menurutnya sangat berbeda dengan fatwa yang dikeluarkan MUI pusat. Dalam kesempatan itu, ia menegaskan kekerasan Sampang bukan konflik keluarga melainkan politisasi keyakinan. Bupati Sampang juga sempat melontarkan pernyataan bahwa Syiah tidak boleh tinggal di Madura. Jika penganut Syiah ingin tinggal, mereka harus mengubah keyakinannya.
Gus Mis menuturkan kekerasan di Sampang yang mengakibatkan tewasnya dua warga Syiah merupakan titik kulminasi dan disebabkan sejumlah faktor. Belum lagi absennya negara dalam memberi perlindungan bagi warganya.
Kedua, berdasarkan pengalamannya, ia bisa menyimpulkan orang Madura takut kepada ulama dan polisi. Ulama sangat disegani, sedangkan polisi ditakuti karena mempunyai senjata dan mandat hukum. Sehingga jika terjadi kekerasan, bisa dipatikan polisi tidak melakukan tindakan untuk meminimalisir kekerasan. Kekerasan pasti bisa dihentikan jika polisi melakukan langkah-langkah yang tepat.