REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat politik LIPI, Indria Samego menilai kemenangan kedua Barack Obama sebagai Presiden Amerika Serikat, tidak seharusnya dipandang sebagai perubahan radikal yang akan dialami Indonesia, apabila melihat pengalaman pemerintahan AS pada periode sebelumnya.
"Jangan tafsirkan kemenangan Obama sebagai perubahan radikal bagi Indonesia," katanya saat dihubungi di Jakarta, Rabu (7/11).
Menurut Indria, kerja sama yang dijalin AS dengan Indonesia lebih berfokus pada pemecahan masalah-masalah untuk negaranya. "Tidak ada kerja sama khusus yang bertujuan semata-mata untuk Indonesia, sebagian besar kerja sama untuk kepentingan negaranya, baik dari segi politik maupun ekonomi," imbuh dia.
Indria menilai banyak negara yang yang bekerja sama dengan Indonesia pada beberapa tahun terakhir, termasuk AS. Sebab keadaan politik dan ekonomi negara-negara tersebut dalam masa yang tidak stabil. "Indonesia jangan terlalu percaya diri dengan kemenangan Obama ini," katanya.
Ia mengatakan tidak ada perubahan mendasar pada empat tahun terakhir, ketika Obama menjabat Presiden AS periode 2008-2012 tersebut. "Dari segi politik juga tidak membawa pengaruh besar karena siapapun Presiden AS terikat oleh Undang-Undang Konstitusi," katanya.
Namun, menurut dia, kemenangan Obama tetap membawa dampak positif untuk menjalin kerja sama dengan Indonesia. "Setidaknya sistem kerja sama tidak banyak berubah. Kedua negara hanya melanjutkan saja," katanya.
Jika Mitt Romney yang terpilih sebagai presiden, ucapnya, sistem kerja sama akan lebih mengarah pada politik 'garis keras'. "Kecenderungan pemimpin dari Partai Republik adalah membuat kebijakan industri perang dan akan terus mengekspor alat-alat perang," katanya.
Obama dari Partai Demokrat memperoleh 284 suara 'electoral vote' mengungguli lawannya Mitt Romney dari Partai Republik yang hanya mendapat dukungan 203 electoral vote. Obama terpilih sebagai Presiden AS atas kemenangan yang dicapai di negara bagian yang sangat menentukan, Ohio.