REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ali Mustafa Ya'kub, mengatakan masih ada bagian yang belum disepakati oleh MUI dan pemerintah pusat, dalam hal ini yaitu Kementerian Agama (Kemenag) mengenai lembaga mana yang berhak mengeluarkan sertifikasi.
MUI menginginkan agar MUI saja yang mengeluarkan sertifikasi, sedangkan Kemenag juga mau agar pihaknya yang mengeluarkan sertifikasi. Hal-hal yang belum mencapai kesepakatan seperti itu sebaiknya dibicarakan dan dicari jalan keluarnya.
Agar kedua pihak bertemu secepatnya mencapai kesepakatan, sebab yang dirugikan adalah masyarakat sebagai konsumen. ''Konsumen berhak tahu apakah produk yang dipakainya itu halal atau tidak,'' ujarnya, Ahad (9/12).
Ali menambahkan produk yang paling banyak dikonsumsi, dikemas dan dijual untuk masyarakat harus memuat informasi keterangan halal atau tidak. Hal itu tak perlu dikenakan pada produk yang sudah jelas bentuknya, seperti beras, jagung, dan singkong.
Untuk produk olahan yang harus dikemas khusus, termasuk obat-obatan, kosmetik, serta makanan dan minuman kemasan, produk itu wajib mencantumkan keterangan halalnya.
Menurutnya, RUU ini bukan hanya perlu didorong agar segera terlaksana, tapi perlu segera dicari jalan keluar dan pemecahannya sebab produk-produk yang dikonsumsi harus diteliti oleh lembaga sertifikasi. Jika telah jelas aturan dan lembaganya, pedagang yang tidak mendapat sertifikasi halal dan tetap menjual produknya secara luas, tentu bisa dipidanakan.