Jumat 04 Jan 2013 17:47 WIB

Kemenag Dalami Temuan PPATK

Rep: Agus Raharjo/ Red: Hazliansyah
Jamaah haji saat wukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi (ilustrasi).
Foto: Antara
Jamaah haji saat wukuf di Padang Arafah, Makkah, Arab Saudi (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Inspektur Jenderal Kementerian Agama, M Jasin, mengaku pihaknya belum melakukan komunikasi dengan PPATK terkait penyebutan Biaya Perjalanan Ibadah Haji (BPIH) mencapai Rp 80 triliun per tahun.

M Jasin mengatakan pihaknya tengah mengecek kebenaran temuan itu ke PPATK. Kemenag akan mengirim surat untuk meminta penjelasan.

Namun begitu, menurutnya, temuan angka Rp 80 triliun itu sangat berlebihan. "Jumlah itu tidak mungkin, karena terlalu berlebih," tegas Jasin di Jakarta, Jumat (4/1).

Jasin menambahkan, pada tahun 2010 lalu, jumlah dana haji masih di angka Rp 24 triliun.

Akan tetapi temuan itu akan tetap didalami,  sebab menjadi sebuah laporan dari pihak luar kepada Kementerian Agama.

Sebelumnya Ketua PPATK, M Yusuf merilis hasil temuannya tersebut kepada para wartawan terkait rilis akhir tahun 2012 pada Rabu (2/1) lalu. Kejanggalan tersebut di antaranya tempat pemondokan bagi jamaah haji asal Indonesia yang jaraknya selalu jauh dari Masjidil Haram.

PPATK juga menyoroti lembaga keuangan yang dipilih untuk menyimpan dana penyelenggaraan haji. Selain itu, kejanggalan lainnya yakni terkait penukaran valuta asing (valas) oleh Kementerian Agama.

Menurut Yusuf, ada oknum yang diperintahkan Kemenag untuk membeli valas dalam jumlah besar. PPATK juga mendapati dana penyelenggaraan haji yang digunakan untuk perbaikan kantor dan juga membeli kendaraan operasional.

Hasil pemeriksaan terkait pengelolaan dana ibadah haji tersebut telah dilaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk ditindaklanjuti.

"Kami mencium keras adanya penyimpangan dan kami sudah serahkan hasil pemeriksaannya kepada KPK," kata Yusuf, Rabu (2/1) lalu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement