REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Donal Faridz mengaku heran atas sikap pejabat publik yang anti-kritik. Bahkan mengkriminalisasi rakyat yang menyampaikan kritik terhadap mereka. "Yang dilakukan ICW itu merupakan hak publik untuk mengkritik pejabat publik. Aneh kalau dikriminalisasi," kata Donal dalam diskusi di Formappi, Jakarta, Kamis (4/7).
Donal menjelaskan, ICW merilis daftar nama politisi yang kembali maju menjadi caleg tetapi dinilai tidak pro-pemberantasan korupsi. Rilis itu berangkat dari kekhawatiran terhadap wajah parlemen. Dalam catatan ICW, menurutnya terdapat delapan kasus besar dan dua ribu transaksi mencurigakan berlangsung di DPR.
Ada lima indikator yang melandasi ICW merilis nama 36 politisi Senayan itu. Pertama, bekas terpidana kasus korupsi. Kedua, mereka yang pernah disebut namanya dalam fakta persidangan. Kemudian anggota dewan yang pernah dijatuhi hukuman oleh Badan Kehormatan DPR. Keempat, mereka yang pernah mengeluarkan pernyataan bertentangan dengan pemberantasan korupsi. Kelima, mereka yang berkeinginan merevisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. "Kami merilisnya agar ada public awarness, supaya publik melihat catatan kami," tuturnya.
Tetapi rilis ICW itu memancing kemarahan dari hampir semua politisi yang masuk dalam daftar tersebut. Tak tanggung-tanggung, dua orang politisi, Syarifuddin Sudding dan Ahmad Yani melaporkan ICW ke Bareskrim Mabes Polri. Karena dinilai menyebarkan informasi yang tidak benar.
Donal menganggap respon dari para politisi itu justru kontradiktif. Sebagai anggota legislatif, mereka kerap mengkritik Presiden Susilo bambang Yudhoyono yang dinilai lamban dalam mengatasi berbagai persoalan. Lembaga-lembaga negara juga tak luput dari kritik para anggota dewan. "Giliran publik menilai mereka, kenapa kemudian mereka kebakaran jenggot?," ungkap Donal.