REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penolakan terhadap revisi UU Pemilihan Presiden dinilai sebagai wujud arogansi parpol besar. Sikap ini juga menghambat kesempatan bagi tokoh-tokoh potensial, namun berada di luar lingkungan partai besar untuk maju dalam kontestasi pemilihan presiden.
"Bisa dikatakan demikian, arogansi partai besar. Supaya yang punya peluang maju sebagai kandidat presiden dari lingkungan partai besar, walaupun kalau mau jujur tidak ada partai besar di Indonesia, semuanya di bawah 30 persen," kata peneliti politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Syamsuddin Haris, di Jakarta, Rabu (25/9).
Menurut Syamsuddin, sangat disayangkan bila UU Pilpres tidak direvisi. Karena sistem ambang batas pencalonan presiden (presidential tershold) yang saat ini dipakai dalam UU nomor 42 tahun 2008 tidak masuk akal.
"Karena memang tidak lazim untuk maju jadi capres itu parpol musti memiliki suara sekian persen. Di mana-mana gak ada aturan gitu," ujar dia.
Harusnya, lanjut Syamsuddin, ambang batas parlemen pada pemilu legislatif saja sudah cukup. Skema pemilu di Indonesia, menurutnya juga harus ditata ulang. Karena dalam menerapkan sistem presidential, harusnya pemilu dimulai dengan pilpres, baru dilanjutkan pileg.
"Ini sesuatu yang anomali. Bagaimana mungkin presidensiil didikte oleh hasil parlemen. Makanya ambang batas presiden itu anomali dan tidak masuk akal," ungkap Syamsuddin.