REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Internasional UI Hikmahanto Juwana menyatakan pemerintah bisa mengusir diplomat Australia bila surat balasan dari PM Australia Tony Abbott kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak memadai dalam menjelaskan penyadapan. "Salah satu usulan respons pemerintah adalah pengusiran sejumlah diplomat Australia dalam waktu 1x24 jam," kata guru besar UI itu di Jakarta, menanggapi surat balasan dari Abbott.
Sebagaimana dilansir dari situs The Australian, Abbot pada Sabtu (23/11) di Sydney mengatakan kepada wartawan bahwa dia telah membuat surat balasan untuk Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengenai kasus penyadapan.
Presiden Yudhoyono pada Rabu (20/11) malam menyatakan bahwa dia menyurati Abbott berisi protes dan meminta penjelasan dan sikap resmi serta tanggung jawab terkait isu penyadapan atas dirinya, istrinya, dan sejumlah petinggi negeri.
Kepala Negara mengungkapkan kekecewaannya atas tindakan tersebut, mengingat Indonesia dan Australia merupakan tetangga sekaligus mitra, apalagi pada 2015, kedua negara telah meningkatkan hubungan kerja sama bilateral menjadi kemitraan strategis.
"Kalau ada yang mengatakan intelijen itu bisa melakukan apa saja, saya justru bertanya, intelijen itu arahnya kemana, kenapa harus menyadap kawan bukan lawan, saya menganggap ini masalah yang serius, bukan hanya aspek hukum, saya kira hukum di Indonesia dan Australia tidak memperbolehkan menyadap pejabat negara lain," kata Yudhoyono.
Presiden juga memutuskan menghentikan tiga kerja sama RI-Australia yakni kerja sama pertukaran informasi dan data intelijen antara kedua negara, menghentikan seluruh kerja sama latihan bersama antara TNI dengan Australia, dan kerja sama operasi militer terkait dengan penyelundupan manusia. "Tidak mungkin dilanjutkan kalau tidak yakin tidak ada penyadapan," kata Presiden.