Rabu 04 Dec 2013 21:08 WIB

Penundaan Jilbab Polwan Bisa Dinilai Bermuatan Politis

Lukman Hakim Saifuddin
Foto: Antara
Lukman Hakim Saifuddin

REPUBLIKA.CO.ID,  JAKARTA -- Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin mengingatkan Mabes Polri agar berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan soal penundaan penggunaan kerudung atau jilbab bagi Polwan karena bisa dianggap bermuatan politis bahkan melanggar HAM.

"Jangan sampai penundaan itu dinilai bermuatan politis, apalagi sampai dituduh melanggar hak asasi manusia, khususnya dalam kebebasan menjalankan ajaran agama bagi setiap warga," kata Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saifuddin di Jakarta, Rabu (4/12).

Sebelumnya Polri telah mengeluarkan kebijakan diperbolehkannya Polwan mengenakan jilbab saat melaksanakan tugas. Namun beberapa hari kemudian kebijakan itu ditarik kembali dan ditunda pelaksanaannya dengan alasan belum adanya anggaran untuk pengadaan jilbab seragam tersebut.

Lukman menegaskan alasan belum adanya anggaran yang bisa mendukung pelaksanaan penggunaan kerudung bagi polwan dinilai mengada-ada.

"Bukankah para polwan itu bisa membeli sendiri kerudung yang akan dikenakan, sejauh diberikan ketentuan yang jelas mengenai warna, jenis, bentuk, model, dan lainnya demi penyeragaman," kata Lukman.

Menurut dia, mestinya Mabes Polri cukup arif dalam menempuh kebijakan terkait hal yang sangat sensitif ini.

"Yang perlu dilakukan Polri adalah mengatur lebih lanjut bagaimana tata cara pelaksanaan kebijakan yang sudah diumumkan Kapolri itu, bukan malah menundanya sampai batas waktu yang tak menentu," ujarnya.

"Penundaan tanpa batas waktu yang jelas ini, bisa dimaknai sebagai pembatalan, atau bahkan larangan atas pengenaan kerudung bagi polwan. Ini yang harus dihindari," kata Lukman.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement