Rabu 02 Apr 2014 12:38 WIB

Pemilu 2014: Tantangan bagi Caleg Perempuan

Red:
abc news
abc news

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Keterwakilan perempuan dalam dunia politik Indonesia sudah dijamin dengan sistem kuota 30 persen dalam daftar calon legislatif setiap partai.  Namun apakah perjuangan mereka untuk terpilih sebagai wakil rakyat menjadi lebih mudah karenanya?

Seluruh partai politik dan caleg yang bersaing dalam pesta demokrasi kali ini, makin keras menggenjot usahanya untuk meraih simpati masyarakat, sebelum hari pencoblosan 9 April 2014.

Kesibukan serupa juga dialami Sahat Farida Berlian, salah seorang caleg perempuan dari PDI Perjuangan di daerah pemilihan 4 kota Depok Jawa Barat.

Untuk bisa duduk di kursi DPRD Kota Depok, Sahat harus mampu meraih sedikitnya 7000 suara.

Sahat yang memiliki latar belakang aktifis ini mengaku bahwa sebagai caleg perempuan, dia harus berusaha ekstra keras dalam bersaing meraih dukungan warga.

Mentraktir Makan Bakso

Visi-misi memajukan kesejahteraan serta hak perempuan dan anak yang diusungnya tidak selalu menjadi alat ampuh untuk meraih simpati warga, terutama pemilih perempuan. Sebaliknya menurut Sahat, kekuatan fisik dan materil masih menjadi hal utama yang dilirik warga pemilih di daerahnya.

"Tantangan pertama," ujar Sahat, "kalau berhadapan dengan masyarakat, mungkin saya tidak sesuai dengan harapan masyarakat mengenai kebutuhan mereka terhadap caleg cantik, seksi dan banyak uang. Pemahaman mereka terhadap caleg perempuan bisa lebih royal kepada konstituen yang bagi-bagi kerudung, bagi-bagi uang jajan. Mungkin bisa cek ke caleg perempuan dari partai lain, pasti mereka sering traktir bakso."

Menurut Sahat, kultur yang terbangun adalah traktir bakso di antara ibu-ibu, "caleg datang makan bakso bareng."

"Saya juga dituntut seperti itu," kata Sahat, "Awalnya sulit, tapi lama-lama terbiasa. Maaf saya tidak punya duit dan kalau pun ada uang, saya tidak  mau menyumbang dengan cara itu."

Sejak bebarapa tahun terakhir kota Depok memang menjadi kawasan pemukiman alternatif yang cukup dekat dengan Jakarta dan hal itu memicu perbedaan kelas yang cukup menonjol di sejumlah kawasan.

Kondisi ini juga menurut Sahat memicu tingkat kesadaran politik yang berbeda. Perbedaan kelas akhirnya membuat dampak kesadaran.

Menurut Sahat orang-orang di kompleks perumahan yang secara ekonomi mapan, tidak peduli lagi dengan uang Rp100 ribu. Yang penting visi misi. "Tapi ada juga kalangan menengah atas yang mintanya pelebaran jalan," katanya, belum lama ini.

Namun menurut Sahat tantangan terbesar justru mengatasi persaingan dengan calon legislatif pria yang dinilainya kurang fair.

“Dua minggu menjelang pemilihan, partai lain ekspansi mencari lumbung suara. Caleg laki-laki yang banyak duit kebetulan dari partai lain memberikan sajadah,  karpet mesjid, ngecor jalan, memberi soundsystem, susu, segala macam yang saya dan teman-teman lain tidak melakukan gaya seperti itu." jelas Sahat.

Pengalaman Sahat dengan caleg laki-laki itu adalah komentar-komentarnya, seperti, "Ngapain sih dia nyalon mending cariin dia suami saja .. buat dia,"

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan ABC News (Australian Broadcasting Corporation). Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab ABC News (Australian Broadcasting Corporation).
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement