REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Hingga kini Kejaksaan Agung belum bisa memulangkan terdakwa kasus hak tagih Bank Bali 11 Januari 1999, Djoko Tjandra yang berada di Papua Nugini. Wakil Jaksa Agung Andhi Nirwanto mengatakan, Kejagung masih memroses kepulangan Djoko Tjandra.
Ia melanjutkan, sudah ada perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Papua Nugini. Namun ternyata memerlukan ratifikasi melalui parlemen di negera tersebut. Tidak hanya itu, di Indonesia juga harus di ratifikasi oleh DPR dan Pemerintah.
''Jadi tidak bisa perjanjian kerja sama ekstradisi itu langsung diberlakukan sebelum diratifikasi oleh masing-masing negara,'' kata dia, Jumat (30/5).
Kendala yang lain ialah, Papua Nugini sedang membahas RUU tentang extradition regulation. Andhi berharap tahun ini pembahasan tersebut selesai. Ia menambahkan, Kejagung terus berkordinasi dengan Papua Nugini serta di dalam negeri.
''Sedang proses ke arah sana. kita mendorong Kemenkumham agar pemerintah kita meratifikasi perjanjian ekstradisi itu,'' kata Andhi.
Sebelumnya, nota kesepahaman (MoU) terkait dengan perjanjian ekstradisi antara pemerintah RI dan Papua Nugini telah ditandatangani. Ekstradisi ini merupakan salah satu dari 11 MoU antara Indonesia yang ketika itu diwakili oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Amir Syamsuddin dalam kunjungan kenegaraan dengan Perdana Menteri Papua Nugini, Peter O'Neill.
Ekstradisi tersebut diharapkan dapat memulangkan Djoko Tjandra. Djoko ialah merupakan terdakwa kasus hak tagih Bank Bali yang meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta ke Port Moresby, Papua Nugini pada 10 Juni 2009.
Djoko Tjandra dihukum penjara dua tahun, dan harus membayar denda Rp 15 juta, serta Rp 54 miliar uangnya di Bank Bali diambil alih negara. Kemudian, Djoko menjadi warga negara Papua Nugini pada 2012 dan mengubah namanya menjadi Joe Chan.