REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA--Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) mengesahkan qanun jinayat yang menjadi dasar menghukum para pelaku tindak pidana Islam di Provinsi Aceh untuk memperkokoh penerapan syariat Islam.
Pengesahan qanun jinayat tersebut diputuskan setelah fraksi-fraksi di DPRA menyetujui pengesahannya dalam sidang paripurna DPRA di Banda Aceh, Sabtu jelang subuh. Sidang paripurna tersebut hanya dihadiri 28 dari 69 anggota dewan yang terhormat tersebut.
Selain mengesahkan qanun jinayat, DPRA mengesahkan enam qanun atau peraturan daerah lainnya. Qanun yang disahkan tersebut, yakni qanun tentang syariat Islam, qanun Bank Aceh Syariat.
Kemudian, qanun penyelenggaraan pendidikan, qanun ketenagakerjaan, perubahan Qanun Nomor 2 Tahun 2012 tentang pajak Aceh, dan perubahan Qanun Nomor 1 Tahun 2008 tentang pengelolaan keuangan Aceh.
Tgk Mahyaruddin Yusuf, juru bicara Fraksi PPP-PKS DPRA mengatakan, dengan adanya qanun jinayat akan menguatkan hukum formil dalam pelaksanaan syariat Islam di Provinsi Aceh.
"Qanun jinayat ini akan menjadi landasan hukum bagi penegak hukum dalam menegakkan syariat Islam, sehingga penerapan syariat Islam secara kaffah bisa terwujud," kata dia.
Politisi PKS tersebut juga menyarankan agar ada pasal pemberatan bagi pejabat publik dan oknum penegak hukum yang melanggar syariat Islam. Hukumnya ditambah satu per tiga dari hukuman normalnya.
"Pejabat publik dan penegak hukum merupakan teladan dalam pelaksanaan syariat Islam. Karena itu, jika melanggar maka hukumannya lebih berat dari masyarakat biasa," ungkap Tgk Mahyaruddin Yusuf.
Sementara, Aminuddin, juru bicara Fraksi Partai Golkar DPRA, mengharapkan qanun jinayat harus diimplementasikan secara maksimal, sehingga pelaksanaan syariat Islam bisa berjalan secara kaffah atau sempurna.
"Qanun dibuat untuk kepentingan rakyat dengan tujuan menyejahterakan rakyat. Karena itu, kami berharap qanun jinayat ini diimplementasikan dengan sungguh-sungguh," kata Aminuddin.
Pada DPRA periode 2004-2009 pernah mengesahkan qanun jinayat, namun ditolak diundangkan oleh Gubernur Aceh yang saat itu dijabat Irwandi Yusuf.
Hukuman rajam dalam qanun jinayat tersebut menjadi polemik hingga dunia internasional. Qanun jinayat ini kembali dibahas di DPRA sejak tiga tahun terakhir.