Selasa 30 Sep 2014 16:20 WIB

Gugat UU Pilkada karena Hak Konstitusional Hilang

Sejumlah mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di gedung DPRD Sulawesi Tengah di Palu, Selasa (30/9).
Foto: Antara
Sejumlah mahasiswa menggelar aksi unjuk rasa di gedung DPRD Sulawesi Tengah di Palu, Selasa (30/9).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pascadisahkannya RUU Pilkada dalam sidang paripurna DPR pada Kamis (25/9), muncul gelombang kemarahan publik yang menentang keputusan itu. Kini, berbagai elemen masyarakat mulai melirik jalur gugatan ke Mahkamah Konstitusi (MK) dengan tujuan mengajukan gugatan UU Pilkada, terutama pasal yang mengatur tentang pemilihan kepala daerah oleh DPRD.

Direktur Eksekutif Indo Survei and Strategi (ISS) Hendrasmo bersama Asosiasi Pengusaha Mineral Indonesia (Apemindo), dan Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) menjadi pemohon pertama yang mendaftarkan permohonan judicial review ke MK.

Menurut Hendrasmo, pada Senin (29/9), ISS bersama sejumlah pihak lain, seperti Yayasan Indo Strategy dan Formappi memberi kuasa kepada Forum Pengacara Konstitusi untuk melakukan judicial review terhadap UU Pilkada. "Kami mengajukan keberatan atas hak konstitusional kami yang dilanggar karena UU tersebut," katannya di Jakarta, Selasa (30/9).

Dia menyatakan, gugatan diajukan bersama pemohon lainnya adalah sebagai bentuk ekpresi kekecewaan yang mendalam atas disahkannya UU Pilkada. Baginya, UU Pilkada, khususnya ketentuan pilkada lewat DPRD, telah merampas hak konstitusional warga negara. Karena itu, ketentuan tersebut wajib dibatalkan, sebab bakal mendegradasikan demokrasi di Indonesia. Baginya, wajib hukumnya membatalkan UU Pilkada.

"Banyak hak rakyat yang akan hilang misalnya hak politik seperti bagian dari partisipasi politik untuk memilih pemimpin yang lebih  merakyat dan akuntabel kepada  publik atau pun hak ekonomi akibat UU tersebut," kata Hendrasmo.

Dengan pola pemilihan yang hanya dilakukan oleh segelintir elite di parlemen daerah, kata dia, rakyat hanya akan jadi penonton di pinggir gelanggang. Bahkan, hak rakyat telah dikebiri dan dibajak. Padahal, partisipasi warga, adalah bagian tidak terpisahkan dari demokrasi. Rakyat punya hak memilih calon pemimpinnya.

Namun demikian yang paling utama dari gugatan yang dimohonkan ke MK, kata Hendrasmo, adalah nasib bangsa Indonesia ke depan. Karena dengan pilkada langsung, bangsa Indonesia sebenarnya sudah punya ruang yang tepat untuk bisa meningkatkan kualitas demokrasi.

Tapi kini, ruang itu telah dibongkar dan diruntuhkan oleh segelintir elit yang seolah-olah mengatasnamakan rakyat. Padahal, mereka tak lebih dari pembajak hak rakyat. "Kalau kita biarkan demokrasi kita akan mengalami kemunduran yang  luar biasa. Bahkan cenderung mengarah ke totalitarianisme. Gugatan kami sudah didaftarkan, dan termasuk paling awal di MK," ujarnya.

Menurut Hendrasmo, pertarungan di MK, adalah pertarungan antara kekuatan rakyat berhadapan dengan kekuatan segelintir elite. Demokrasi yang selama ini jadi perisai rakyat dalam menegakan haknya, di mana salah satunya adalah lewat pemilihan langsung terancam mati permanen.

"Yang penting adalah nasib bangsa kita ke depan. Akankah membiarkan bangsa kita mengalami keterpurukan politik, karena membiarkan oligarki partai semakin mencengkeram kehidupan rakyat dan membelenggu partisipasi politik rakyat?"

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement