REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Penolakan uji materiil terhadap Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menjadi keuntungan partai koalisi merah putih (KMP). Pasalnya, jika DPR dipimpin oleh partai pemenangan pemilu, maka netralita dalam memberikan keputusan meski dipertanyakan.
"iya (jadi keuntungan untuk KMP) dan ini menjadi penguatan bagi check and balance yang selama ini lemah," kata Anggota DPR Firman Subagyo kepada wartawan di DPR, Selasa (30/9).
Menurut Firman, selama ini, ketika pimpinan DPR diambil dari partai penguasa, sudah terbukti fungsi pengawasan terhadap pemerintah menjadi kurang maksimal.
"Pimpinan DPR bagian dari penguasa, sehingga pimpinan DPR yang dipimpin dari parpol pemenang pemilu pasti kadar netralitasnya menjadi rendah," ujarnya.
Selain sebagai fungsi check and balance, kata Firman, ditolaknya UU MD3 itu juga dapat menjadi pembelajaran bagi sistem Politik nasional. Dimana sistem politik Indonesia dikenal dengan sistem multi partai namun pada praktiknya dinilai telah gagal.
"Karena gejolak ekonomi, keamanan sampai politik," katanya.
Kata Politisi Partai Golkar itu, dengan adanya aturan pimpinan DPR tidak mesti dijabat oleh partai pemenang pemilu, maka antara koalisi merah putih dan koalisi partai pemerintah bisa bekerjasama dan bersinergi dengan baik dalam menjalankan fungsi pengawasan.
"Dana ini akan meminimize gejolak-gejolak partai politik yang ada," katanya.
Seperti diketahui MK menolak secara keseluruhan permohonan uji materil terhadap UU MD3. Uji materiil sebelumnya diajukan oleh PDIP terkait aturan pemilihan pimpinan DPR.
PDIP mengajukan gugat dengan Perkara Nomor 73/PUU-XII/2014 tehadap Pasal 84, Pasal 97, Pasal 104, Pasal 109, Pasal 115, Pasal 121, dan Pasal 152 UU MD3.