Kamis 13 Nov 2014 16:38 WIB
KIH usul hak menyatakan pendapat dihapus

PKS: KIH Mengidap Dua Sindrom

Partai Keadilan Sejahtera/PKS (ilustrasi)
Foto: Republika/Agung Supriyanto
Partai Keadilan Sejahtera/PKS (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA-- Wakil Sekretaris Jenderal PKS Mahfudz Siddiq menilai Koalisi Indonesia Hebat (KIH) mengidap dua sindrom karena memunculkan tuntutan baru untuk merevisi aturan hak menyatakan pendapat di Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

"Pertama sindrom kemarahan terhadap Presiden Joko Widodo dari unsur-unsur KIH yang kecewa dengan formasi kabinet. Ada yang tidak terakomodasi lalu 'ngambeknya' ke DPR dengan buat DPR tandingan," kata Mahfudz Siddiq melalui pesan Blackberry di Jakarta, Kamis.

Hal itu menurut dia menyebabkan DPR tidak bisa bekerja efektif dan itu sebenarnya pesan ke Presiden Jokowi bahwa pemerintahannya tidak akan bisa bekerja jika DPR masih terbelah. Dia menegaskan urusan akan selesai apabila Presiden Jokowi mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang marah dan kecewa tersebut.

Mahfudz menjelaskan sindrom kedua yaitu ketakutan dari pihak internal KIH yang ingin mengamankan kekuasaan Presiden Jokowi karena mereka mulai mengidentifikasi kelemahan-kelemahan serius di dalamnya.

"Hak menyatakan pendapat DPR dipandang sebagai ancaman padahal hak tersebut dari dulu sudah ada," ujarnya.

Menurut dia, dua sindrom yang mewakili kepentingan dua kubu KIH yang merupakan sumber masalah dan DPR hanya terkena imbasnya saja tapi KIH mencoba menyalahkan KMP atau Koalisi Merah Putih. Dia menegaskan bahwa KMP kompak atau solid dalam memberi ruang akomodasi dengan memberikan 16 kursi pimpinan alat kelengkapan Dewan atau AKD dan revisi terbatas UU MD3 dan Tatib DPR.

"Tapi KMP juga solid menolak usul revisi hak dan kewenangan DPR yang tidak terkait dengan jumlah pimpinan AKD," katanya.

Mahfudz mengatakan sebaiknya pimpinan partai-partai di KIH segera menyelesaikan masalah "dalam negerinya" karena jika tidak yang akan sangat dirugikan adalah pemerintahan Jokowi.

Menurut dia, apabila Presiden Jokowi memaksa kementerian dan program barunya berjalan tanpa ada pembahasan RKAAL Kementerian baru tersebut, maka Presiden berpotensi melanggar UU dan itu punya implikasi hukum dan juga politik.

sumber : Antara
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement