REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Pengamat Hukum Pidana dari Universitas Islam Indonesia (UII) M Mudzakir mengatakan penundaan eksekusi mati masih bisa tetap dilakukan bila terpidana mati mengajukan Peninjauan Kembali (PK).
Ia justru meminta agar Mahkamah Agung (MA) untuk mengevaluasi terlebih dahulu pernyataannya terkait untuk segera melakukan eksekusi.
"Jadi ada dua jenis hukuman ekseskusi. Ada yang bisa diralat kembali. Tapi ada juga ada eksekusi yang tidak bisa diralat kembali pada pidana tertentu," kata Mudzakir saat dihubungi Republika, Kamis (1/1).
Ia mengatakan terhadap pidana tertentu yang tidak bisa diralat kembali itulah yang disebut pidana mati. "Jadi misalnya nanti, hukuman kata-kata mendukung tidak menunda eksekusi itu apa artinya?," katanya.
Menurutnya temanya adalah untuk hukuman penjara atau denda. Ia mencontohlan hukuman penjara lima tahun yang bisa segera dilakukan, atau hukuman denda yang bisa segera dibayarkan. Sedangkan untuk eksekusi mati ini berbeda dengan pidana lain.
"makanya ini tidak disamakan kalimat penundaan itu," ucapnya.
Salah satu penundaan terhadap para pidana mati adalah adanya masa tunggu untuk eksekusi mati. "Kalau ada masa tunggu berarti harus menunggu, tidak bisa dinyatakan selesai dan dieksekusi tidak bisa. Mereka tidak bisa disamakan dengan mereka yang dipidana penjara atau denda," tegasnya.
Ia menjelaskan dalam jeda waktu tunggu ekseskusi mati, harus melalui proses pengujian yang lain agar sarana hukum upaya pemenuhan hukum terpidana mati dapat terpenuhi.
"Misalnya permintaan grasi terhadap presiden. Presiden kalau dimintakan grasi kan juga melalui proses penelitian juga untuk menerima atau menolak," jelasnya,
Jadi, sambung Mudzakir, kesimpulannya pidana mati harus ditunggu sampai PK nya selesai. "Karena kalau dia sudah dieksekusi mati nanti tidak bisa diralat, apakah mau tanggung jawab kalau ternyata putusan PK dibebaskan," kata dia.
Ia pun mengakui memang ada pernyataan MA untuk segera melakukan eksekusi, namun tidak bisa diterjemahkan secara tutup mata, agar segera menyelesaikan eksekusi. "Jadi dimaknai dengan membuka mata dengan mendengar, berpikir, suara hati. Kalau misal PK akal-akalan cepet saja ditolak," paparnya.
Ia pun menjelaskan akal-akalan yang dimaksud adala, apabila PK tidak bisa mengubah dari terbukti pidana mati jadi bebas dari semua tuntutan pidana.
"Kalau enggak mungkin harus segera dinyatakan ditolak," jelasnya.
Tapi, lanjut Mudzakir, hak tersebut tetap harus dihargai, "yang penting hak terpidana mati terpenuhi, kalau tidak terpenuhi sama saja nanti si pengeksekusi mati seperti membunuh," katanya.