REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dipandang perlu memiliki Undang-Undang yang mengatur keharusan bagi seorang pejabat negara untuk mundur atau non-aktif dari jabatannya begitu ditetapkan sebagai tersangka.
Pengamat Hukum Tata Negara Asep Warlan Yusuf mengatakan, di negara-negara maju seperti Jepang dan Korea Selatan, ketika pejabat publik dilaporkan memiliki harta kekayaan yang tidak wajar, maka pihak berwenang akan meminta yang bersangkutan melakukan beban pembuktian terbalik. Pejabat tersebut harus bisa membuktikan dari mana harta kekayaannya berasal.
Kemudian, apabila telah ditetapkan sebagai tersangka, pejabat harus non aktif dari jabatannya. Asep memandang, hal ini penting untuk menjaga agar tidak ada upaya yang berpotensi mengganggu proses penyelidikan.
"Ini sekaligus untuk menjaga kehormatan jabatan dan memastikan yang bersangkutan dikenakan sanksi sosial terlebih dahulu disamping sanksi administrasi. Saya kira perlu ada Undang-Undang yang mengatur hal itu," kata Asep ketika dihubungi Republika, Rabu (21/1).
Pengamat dari Universitas Parahyangan Bandung tersebut menambahkan, sistem seperti itulah yang harus dibangun di Indonesia. Sehingga, pencegahan perilaku korupsi benar-benar dimulai dari tingkat awal dengan beban pembuktian terbalik pada pejabat yang diduga memiliki harta kekayaan tidak wajar.
Menurut Asep, keharusan membangun sistem yang dapat mencegah perilaku korupsi tersebut sudah diatur dalam Ketetapan MPR Nomor 7 Tahun 2001 tentang arah kebijakan penyelenggara negara yang bebas KKN.