REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat perfilman, Adrian Jonathan Pasaribu, menjelaskan, sensor terhadap film sudah ada sejak zaman kolonial Belanda.
Sensor film saat itu, memiliki tujuan yang berbeda dengan sensor yang dilakukan oleh Lembaga Sensor Film (LSF) saat ini di zaman reformasi.
Menurutnya, sensor yang dilakukan pemerintahan Belanda berdasar pada anggapan bahwa masyarakat kala itu bodoh, mudah tersulut, dan tidak dapat berfikir secara logis. Sehingga jika tidak ada sensor, akan membangkitkan hal-hal yang primitif dari mereka.
"Mereka tidak bisa mengontrol diri sendiri makanya perlu diatur film nya," jelas Adrian, saat dihubungi RepublikaOnline, Kamis (26/2).
Tidak hanya pada zaman kolonial, pada Orde Baru pun tujuan sensor yang demikian masih berlaku. Setelah memasuki era reformasi, hal semacam itu sudah tidak relevan.
"Bisa dipahami karena pemerintah ingin citra mereka terjaga, agar tidak ada adegan kekerasan masuk ke film," ujarnya.
Adrian menambahkan, LSF saat ini di Indonesia sepertinya sudah tidak sesuai dengan semangat reformasi yang berkedaulatan rakyat. Masyarakat punya kuasa untuk menentukan apa yang mau dipahami dari sebuah film.
Menurutnya, lembaga sensor terkesan menjadi alat bagi sekelompok orang untuk menentukan mana yang baik dan tidak baik ditonton oleh masyarakat. Semua pemaknaan jadi ternetralisir, semua konten film diatur, dan klasifikasi usia juga sulit diaplikasikan.
"Lalu di mana kedaulatan rakyatnya?" ungkapnya.