REPUBLIKA.CO.ID, DENPASAR -- Akademikus Fakultas Pertanian Universitas Udayana, Bali, Prof Wayan Windia menyatakan harga beras yang melonjak saat ini tidak memberikan keuntungan bagi para petani secara langsung namun lebih menguntungkan para pedagang.
"Melonjaknya harga beras belum tentu memberikan keuntungan bagi petani secara langsung, malah para pedagang yang mendapatkan keuntungan karena sebagian besar beras didapatkan dari tengkulak," kata Windia di Denpasar, Senin (9/3).
Ketua Pusat Penelitian Subak (Sistem irigasi pertanian tradisional Bali) di Unud itu mengharapkan pedagang membeli beras langsung ke petani bukan melalui tengkulak sehingga petani mendapatkan harga yang kompetitif.
Dia menambahkan bahwa melonjaknya harga beras sebagian besar disebabkan terganggunya distribusi dan transportasi beras ke Pulau Dewata. Mengingat, kata dia, sebagian besar beras di Bali masih disuplai dari Pulau Jawa. "Transportasi antarpulau harus diperbaiki. Distribusi bahan pangan juga harus dijaga," ucapnya.
Sementara itu dari sisi penghasilan, petani di Pulau Dewata juga tidak begitu menggembirakan.
Guru besar Fakultas Pertanian Unud itu bahkan menyebutkan bahwa dari satu hektar lahan sawah hanya mampu menghasilkan sekitar Rp 14 juta untuk setiap panen atau selama empat bulan. "Jika dikalkulasi per bulannya hanya sekitar Rp3,3 juta saja," ucapnya.
Hingga saat ini harga beras di pasaran mencapai pada kisaran Rp 11 ribu hingga Rp 12 ribu per kilogram. Pemerintah Provinsi Bali bersama Badan Urusan Logistik (Bulog) Divisi Regional Bali dan instansi terkait lainnya telah menyalurkan beras dalam operasi pasar. Dalam operasi pasar itu, dijual beras dengan kualitas medium yang dijual Rp 7,500 per kilogram.
Kepala Bulog Divisi Regional Bali Wayan Budita menjelaskan bahwa pihaknya menggelontorkan beras dalam operasi pasar dari cadangan beras pemerintah untuk masing-masing kabupaten/kota di Bali mendapatkan 100 ton per tahun. "Sedangkan untuk provinsi dijatah 200 ton per tahun," ucapnya.
Itu artinya per tahun alokasi cadangan beras pemerintah untuk operasi pasar dan keadaan darurat seperti bencana di Bali mencapai 1.100 ton per tahun.