Kamis 19 Mar 2015 05:14 WIB

Pakar: Negara Harus Buat Payung Hukum untuk Diskriminasikan Koruptor

Rep: C26/ Red: Winda Destiana Putri
Koruptor, ilustrasi
Koruptor, ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peraturan Pemerintah (PP) yang mengatur pembatasan remisi koruptor dinilai banyak pihak bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995.

Pakar hukum tata negara, Asep Warlan Yusuf menyarankan pemerintah untuk membuat payung hukum yang kuat untuk hukuman koruptor.

"Bagi saya, penting negara membentuk semacam payung hukum untuk mendiskriminasi mereka," kata Asep kepada ROL, Rabu (18/3).

Ia mengatakan justru PP Nomor 99 Tahun 2012 itu seharusnya dinaikan atau dimasukkan menjadi Undang-Undang agar kekuatan hukumnya lebih tinggi. Oleh karena itu gesekan-gesekan hukum akan terhindari. Namun, dengan syarat hukum yang diatur dalam Undang-Undang juga harus jelas dan disebutkan satu per satu.

Guru besar ilmu hukum di Universitas Parahyangan Bandung ini juga menyebutkan payung hukum yang lebih kuat nantinya akan memberikan diskriminasi untuk pelaku korupsi. Pembedaan ini nantinya akan meningkatkan efek jera aktor kejahatan luar biasa itu. Selain efek jera, bagi yang belum melakukan tentu akan merasa takut dengan konsekuensi yang dihadapi.

Ditambahkannya, diskriminasi bagi koruptor itu diperlukan melihat kejahatan ini merupakan tindakan luar biasa. Oleh karena itu hukuman dan haknya tidak bisa disamakan dengan kejahatan lainnya.

Sebelumnya Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna Laoly mewacanakan akan merevisi PP tersebut. Alasannya koruptor juga berhak mendapatkan hak pemotongan masa kurungan. Namun, Asep tidak sependapat dengan itu. Ia mengatakan seharusnya koruptor dihukum seberat-beratnya karena efeknya menyusahkan banyak pihak terutama rakyat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement