REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- 'Perselingkuhan' dalam hal apapun tentu tidak bisa dibenarkan, apalagi jika 'perselingkuhan' tersebut sudah menyangkut konteks merugikan orang banyak.
JAKARTA -- Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi), Sebastian Salang mengatakan 'perselingkuhan' kerap terjadi dalam proses penyusunan APBN dan APBD. Bahkan menurutnya saat ini pola permainannya semakin halus dan cukup sulit terdeteksi.
Kemungkinan 'kongkalikong' program yang melibatkan anggaran daerah tak hanya menjangkiti anggota legislatif atau eksekutif di daerah tapi juga para pelaku usaha. Oknum pengusaha, lanjutnya, dapat melalui dua pintu tersebut baik dari legislatif atau pun eksekutif demi kepentingan pribadinya.
"Fungsi Bappenas tidak sekuat dulu dan hal-hal detail semacam itu mustahil bisa dikontrol termasuk oleh para menteri dan kepala daerah itu sendiri," ujarnya dalam diskusi bertajuk "Pengalaman Mengelola Anggaran" di Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/3).
Ia mencontohkan dengan yang terjadi di DKI Jakarta. Sebastian menilai Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok memperhatikan anggaran secara baik namun untuk hal-hal yang sangat detail sangat sulit dilakukan.
Menurutnya, integritas dan visi baik yang dipunya kepala daerah seperti gubernur, walikota, atau bupati tidak akan cukup jika tidak diikuti dengan baik oleh staf-staf SKPD di daerahnya masing-masing.
"Oleh karena itu, peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sangat penting dalam hal ini," katanya.
Sebastian melanjutkan, 'Perselingkuhan' anggaran hanya akan menciptakan dominasi supplier tertentu yang sudah menjadi pesanan pihak-pihak tertentu tanpa ada transparansi yang jelas," lanjutnya.
Selain itu, ia juga menyoroti tumpang tindihnya lembaga kementerian dalam program yang terjadi di daerah yang dianggap menyulitkan inovasi kepala daerah dalam membangun daerahnya. Keberadaan e-Government ia nilai cukup membantu mengatasi persoalan tersebut seperti yang terjadi di Australia.
"Di negara yang sudah maju sudah punya sistem birokrasi yang baik, sehingga meski ada pergantian pemimpin negara tidak menimbulkan guncangan," jelasnya.
Sedangkan yang terjadi di Indonesia masih jauh dari hal tersebut. Setiap pergantian presiden, perubahan signifikan selalu terjadi hingga ke level bawah sesuai dengan partai politik yang ada di belakangnya.
Ia menyatakan pentingnya bagi pemerintah mengatur sistem birokrasi yang jelas untuk menciptakan anggaran keuangan yang profesional, transparan, dan akuntabel.
Sebastian juga menilai apa yang terjadi di Ibu Kota terkait perseteruan Ahok dengan DPRD DKI Jakarta adalah sebuah lukisan yang sangat lengkap atas carut marutnya pengelolaan anggaran di Indonesia.
Hal ini diperparah dengan sejumlah petinggi yang dinilai tidak memiliki komitmen untuk membenahi persoalan tersebut. Sebastian juga menyayangkan lembaga seperti DPRD yang sejatinya sebagai lembaga kontrol tidak berfungsi maksimal.
"Kita tidak bisa hanya mengandalkan niat baik satu-dua kepala daerah, harus benahi sistem e-Government dan e-Budgeting dan diterapkan hingga ke bawah."